Sabtu, 23 April 2016

ALLAMUNGAN BATU DI LUYO DAN KONFLIK ATM

ALLAMUNGAN BATU DI LUYO DAN KONFLIK ATM

Dari dulu hingga kini, ada kecendrungan yang kuat dan luas dari berbagai komunitas, masyarakat, bangsa, kerajaan atau negara di berbagai belahan dunia untuk melakukan saling kontak, berkomunikasi, berinteraksi atau melakukan integrasi satu sama lain guna saling memperkuat dengan bekerja sama dalam bidang-bidang tertentu. Kontak bisa berupa kerja sama ekonomi dan perdagangan, dalam lapangan budaya dan kehidupan sosial, atau membuat perjanjian kerja sama pertahanan dan keamana untuk saling memperkuat. Pada jaman klasik, dan juga kontemporer, adanya aliansi, koalisi antar negara dan bangsa secara internasional, regiomal atau domestik adalah dalam rangka memelihara keamanan bersama serta menciptakan ‘Keseimbangan kekuatan ( Balance of power), sehingga tidak memungkinkan adanya kekuatan tunggal atau kolektif yang hegemonik dan imperialistik untuk memaksakan kehendak serta menguasai wilayah lain. Interdependensi antar bangsa dan negara-negara adalah conditio sine qua non di tengah ketidak pastian mondial, bahkan menunjukkan intensitasnya yang tinggi di era modern dan millenium ini. Perasaan saling tergantung dengan tujuan yang sama bersifat universal dan perlu. Sebuah integrasi akbar belum lama diperingati dan direvitalita di Jakarta dan Bandung, yakni Konferensi Asia Afrika.

Konsep ‘Integrasi’ dalam literatur digambarkan sebagai bergabungnya berbagai komunitas terbatas ke dalam komunitas yang lebih besar. Tak ada definisi yang eksak tentang konsep integrasi serta sifat sesungguhnya dari penggabungan dan kejelasan tujuannya. Juga tentang bagaimana aturan kebebasan atau kedaulatan negara-negara yang terintegrasi. Contoh integrasi di bidang kerja sama ekonomi di era modern adalah bergabungnya berbagai negara-negara Eropa ke dalam Masyarakat Ekonomi Eropa ( MEE) yang juga disebut Pasar Bersama (Common Market). Jelas bahwa tujuan bersama MEE adalah untuk memperkuat ekonomi kawasan dan mengantisipasi persaingan dengan kelompok kerja sama negara-negara lain atau negara dengan kekuatan ekonomi besar, seperti Jepang, China ataupun Amerika Serikat. Dalam lapangan militer kita kenal Pakta Pertahanan negara-negara Atlantik Utara (NATO). Sifat integrasinya lebih cair katimbang MEE. Lebih sebagai kerangka untuk negosiasi aliansi dalam rangka menghadang kemungkinan agresivitas aliansi lain. Semisal Fakta Warsawa yang beranggotakan negara-negara Eropa Timur di bawah komando Uni Soviet. Di kawasan lain kita mengenal NAFTA yang menyatukan negara Amerika Utara dan Selatan, APEC negara-negra di kawasan yang berbatasan lautan Pacific, ASEAN untuk Asia Tenggra, atau SEATO bagi negara-negara Persemakmuran ( Commonweath).

Di Mandar pada masa kerajaan juga telah terjadi berbagai integrasi, aliansi dan koalisi antar kerajaan dengan aneka tema dan tujuannya. Juga dengan nama atau istilah yang berbeda. Assitalliang Boco Tallu adalah persekutuan antara tiga kerajaan, Sendana, Alu dan Taramanuq. Integrasi itu diprakarsai oleh Puatta Disaragiang yang terjadi kira-kira di akhir abad ke 9. Rakyat tiga kerajaan berikrar sehidup semati, senasib sepenanggungan selaras dengan pinta leluhur. Ikrar Tammejarra I adalah integrasi antar enam kerajaan di Mandar minus Binuang, yakni Balanipa, Sendana, Banggae, Pamboang, Tappalang dan Mamuju. Di Tammejarra para maraqdia membuat ikrar yang antara lain bertujuan untuk saling memperkuat di bidang pertahanan dan keamanan. “ Madondong duangbongi, anna diang pole sara, na mappattumbiring litaq anna disulluqi tammala, diliqai tammala, diondongngi tammala, maqganna tomi tia tommuane, na maqosoang naung letteq ingga lekkoang, anna membereq di olona litaq ( Besok atau lusa ada bencana yang datang mengancam, yang akan menghancurkan negara, dan akan menjongkok tak akan terlalui, dilangkahi tidak bisa, dilompati tidak bisa, maka pada saat itulah sampai waktunya laki-laki patriot akan menanam kaki sampai ke lutut dan rela terkapar di pangkuan Ibu Pertiwi). Dalam teks ikrar Tammajarra I versi Sendana, ada disebutkan kerajaan Passokkorang yang dijadikan musuh bersama karena rajanya lalim dan sewenang-wenang.

Ikrar Tammejarra II yang berlangsung di abad 15, telah menyertakan kerajaan Binuang, sehingga menjadi Pitu Ba’bana Binanga atau tujuh kerajaan di hulu sungai. Dalam ikrar Tammejarra II ditegaskan bahwa ketujuh kerajaan adalah satu turunan dari Tokombong Diwura. Juga ditetapkannya bahwa bahwa Balanipa adalah ‘ Sambolangiq di Pitu Baqbana Binanga. Sambolangiq adalah sebangsa burung Elang yang tidak suka makan ayam dan selalu terbang tinggi. Sambolangiq adalah simbol Menteri Pertahanan dan Intelijen dalam sistem pemerintahan tradisional di Mandar. Misalmnya Matangnga adalah sambolangiq di Pitu Ulunna Salu. Limboro Rambu-Rambu adalah sambolangiq di kerajaan Sendana. Dipadatkan juga dengan penyebutan Amai Balanipa, Sendana jari kindoq, Banggae anaq tommuane, dan Pamboang anaq tobaine.

Di atas adalah integrasi yang bersifat ke dalam dan lebih ajeg dan panjang pengaruh dan akibatnya. Ada juga yang bersifat keluar dengan integrasi yang tidak bersifat budaya, tapi lebih bertujuan politis, pragmatis dan berjangka pendek. Assitalliang atau perjanjian di Lanrisang terjadi antara Balanipa dengan kerajaan Bone. Balanipa diwakili oleh Daeng Riosoq To Matindo di Marica, sedang Bone oleh Aru Palaka, To Malampek Gemmena. Perjanjian ini lebih merupakan perjanjian perdamaian, sekaligus pengakuan kedaulatan masing-masing. Ada juga perjanjian antara Pitu Baqbana Binanga dengan kerajaan Ajatappareng yang terdiri dari Sawitto, Alitta, Suppa, Sidenreng dan Rapang. Perjanjin ini untuk saling bekerja sama dan penegasan atas kesetaraan dan persamaan derajat dua konfederasi.

Sebagai puncak dan terbesar (Primus inter pares) dari berbagai perjanjian integrasi di Mandar adalah ‘Muktamar Luyo’ atau “ Allamungang Batu di Luyo” Pada Assitalliang ini hadir semua raja-raja PBB dan PUS yang merumuskan dan menetapkan suatu persatuan dan kerja sama yang berdimensi politik keamanan, ekonomi dan sosial budaya. Pertemuan akbar yang terjadi di tahun 1610 itu mengandung makna dan dampak yang luas serta mendalam. Sebuah koalisi permanen yang telah menjadi ‘Cetak Biru’ pembentukan provinsi baru di Nusantara ini, yakni Sulawesi Barat. Persatuan yang bermatra genealogis dan territorial yang nyata dan mempunyai akibat hukum, budaya dan politis yang kongkrit, bernilai idealis dan realistis, sekaligus pragmatis dan aplikabel. Kelemahan pada otonomi mutlak masing-masing kerajaan yang bergabung serta ancaman eskalasi kekuatan-kekuatan hegemonik kerajaan-kerajaan besar yang ada, telah disudahi dan diantisipasi dengan sebuah keputusan yang cerdas dan bijak, sehingga stabilitas intern ataupun kawasan ekstern bisa terjaga dan terawat. Di Luyo, PBB dipimpin oleh maraqdia Balanipia, Tomepayung, dan PUS dipimpin oleh Londodehata, yang biasa disapa Neneq Tomampu, raja Rantebulahan.

Allamungang Batu di Luyo telah menghasilkan sebuah monumen kesapakatan yang abadi berupa Ikrar yang berbunyi sbb : Ulu Salu memata di sawa, Baqba Binanga memata di peqarappeanna mangiwang. Sisaraqpai mata malotong anna mata mapute annaq sisaraq Pitu Ulunna Salu anna Pitu Baqbana Binanga. Sapala Tappere disolai (Pitu Ulunna Salu mengawasi musuh yang datang dari arah pegunungan, dan Pitu Baqbana Binanga mngawasi musuh yang datang dari arah laut. Nanti berpisah mata hitam dengan mata putih baru berpisah Pitu Ulunna Salu dengan Pitu Baqbana Binanga. Satu tikar bersama).
Allamungan Batu di Luyo adalah manifestasi dari spirit atau etos persatuan dan kesatuan, persatuan dan demokrasi yang secara inheren tertanam di jiwa orang Mandar, di daerah PBB ataupun PUS. tdiak heran maka dalam perjanjian tersebut muncullah istilah Sipamandar atau Sipamandaq yang bermakna saling menguatkan, lalu menjelma menjadi kata “ Mandar” Allamungang Batu di Luyo adalah sebuah prestasi dan achievement genuine orang Mandar , juga sebagai pembuktian adanya peradaban tinggi masyarakat yang menjunjung perdamaian, demokrasi dan kemanusiaan. Jarang ada di Nusantara ini suatu aliansi yang mempunyai nafas panjang dan dalam, seperti perjanjian di Luyo tersebut. Monumen sejarah Mandar itu hingga era modern masih menentukan dan berpengaruh di dalam budaya dan konstellasi politik domesti maupun nasional. Ia tak bisa disepelekan apalagi dilupakan.

Seperti diketahui pada tahun 2003 sampai 2004 telah terjadi konflik di wilayah Aralle, Tabulahan dan Mambi (ATM) yang dipicu oleh masalah pembagian wilayah pasca pemekaran kabupaten Polewali Mamasa menjadi dua yakni kabupaten Polman dan Mamasa. Di sini tidak akan mengangkat fakta secara detail dan jumlah korban dan kerugian yang jatuh saat terjadi konflik komunal yang berdasar primordialisme itu, karena bersifat traumatik. Sebelum turunnya UU pemekaran, yakni UU Nomor 12 Tahun 2012, pada tahun 2001 muncul aspirasi warga masyarakat pada pemekaran kabupaten Polmas, yang menghasilkan kesepakatan bahwa nantinya Desa Bambang, dan Desa Tabang akan tetap berada di wilayah Polman. Dan kesepakatan itu telah diteruskan DPR dan pemda Provinsi Sulawesi Selatan ke pemerintah pusat. Tapi entah mengapa ketika turun UU NO. 12 ttg pemekaran, di sana diatur bahwa kedua desa tersebut masuk ke dalam willayah ATM Kabupaten Mamasa. Karena tidak sesuai dengan kesepakatan awal warga, maka konpflik berkepanjangan pun terjadi dan hampir saja merusak seluruh tatanan yang ada di wilayah PBB dan PUS.

Warga desa Bambang dan desa Tabang tidak mau masuk ke kabupatan Mamasa karena mereka masih terikat secara budaya dan psikologis dengan masyarakat dan budaya di PBB. Mereka masih merasa terikat dengan ikrar persatuan PBB dan PUS di Alamungan Batu di Luyo beserta nilai-nilainya yang terkandung alam ungkapan “ Sisaraqpai mata mapute annaq mata malotong anna mane sisaraqi Pitu Ulunna Salu anna Pitu Baqbana Binanga. Dan pranata sosial yang tercipta di masa lalu itu seperti abadi di jiwa mereka, sehingga menjelma jadi adat budaya yang mengikat untuk dipatuhi. Persatuan dan persaudaraan telah terinternalisasi dalam waktu lama, sehingga sulit untuk dimentahkan kembali atas nama efisiensi, efektivitas serta prinsip span of control managemen pemerintahan. Walau akhirnya permasalahan budaya tersebut telah bisa diatasi dengan pendekatan budaya dan kesejahteraan oleh aparat keamanan dan pemda setempat, namun hendaknya pemerintah pusat belajar dari kasus tersebut, akan pentingnya memperhatikan kearifan dan kekhasann serta aspirasi masyarakat lokal untuk tidak diabaikan begitu saja.

Membuat UU pemekaran atau apapun itu, hendaknya betul-betul adil dan tidak diskriminatif, serta memperhatikan aspirasi masyarakat adat seminim apapun bentuk dan suaranya. Ketika masyarakat Pro Mamasa atau yang Kontra telah sepakat pada pemekaran yang berdasar pada peta historis,sosial dan religi, dengan saling menghargai pilihan masing-masing, pemerintah malah menerbitkan UU NO, 12 Tahun 2002 yang tidak aspiratif dan sesuai dengan keinginan warga, maka terjadilah konflik SARA di ATM yang bersifat traumatik tersebut. Semoga tak terulang lagi kasus serupa di masa depan.

Selasa, 05 April 2016

Daerah Mandar

Daerah Mandar, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1952 dan Nomor 2 Tahun 1953.
20.    Daerah Sulawesi Tenggara, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1952 dan Nomor 2 Tahun 1953.
Didalam daerah-daerah sebagaimana yang disebutkan masih terdapat swapraja ( kerajaan-kerajaan ). Setelah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959 daerah-daerah swatantra (Afdeling) dan swapraja yang ada dibubarkan dan selanjutnya dibentuk sebagai berikut :
1.      Kotapraja Manado, meliputi bekas Kota Manado.
2.      Dati II Kepulauan Sangihe Talaud, meliputi bekas daerah Kepulauan Sangihe Talaud.
3.      Dati II Minahasa, meliputi bekas daerah Minahasa.
4.      Dati II Bolaang Mangondow, meliputi bekas daerah Bolaang Mangondow.
5.      Dati II Gorontalo, meliputi bekas daerah  Sulawesi Utara setelah         dikurangi dengan bekas Swapraja Buol.
6.      Dati II Donggala, meliputi bekas daerah Donggala setelah dikurangi dengan bekas Swapraja Toli-Toli.
7.      Dati II Buol Toli-Toli, meliputi bekas Swapraja Buol dan Swapraja Toli-Toli ( sebelumnya masuk daerah Sulawesi Utara ).
8.      Kotapraja Gorontalo, meliputi Kota Gorontalo ( sebelumnya termasuk daerah Sulawesi Utara ).
9.      Dati II Poso, meliputi bekas Swapraja-swapraja Poso, Loree, Tojo, Una-una, Bungku dan Moriri ( sebelumnya termasuk daerah Poso ).
10.    Dati II Banggai, meliputi bekas Onderafdeeling dan Swaparaja Banggai      ( sebelumnya termasuk daerah Poso ).
11.    Kotapraja Makassar, meliputi bekas Kota Makassar.
12.    Dati II Pangkajene Kepulauan, meliputi bekas Onderafdeeling pulau-pulau Makassar dan onderafdeeling Pangkajene ( sebelumnya termasuk daerah Makassar ).
13.    Dati II Maros, meliputi bekas Onderafdeeling Maros ( sebelumnya termasuk daerah Makassar ).
14.    Dati II Gowa, meliputi bekas daerah dan Swapraja Gowa.
15.    Dati II Jeneponto, meliputi Onderafdeeling Jeneponto ( sebelumnya termasuk daerah Jeneponto-Takalar ).
16.    Dati II Takalar, meliputi bekas Onderafdeeling Takalar ( sebelumnya termasuk daerah Jeneponto-Takalar ).
17.    Dati II Luwu, meliputi bekas daerah  / Swapraja Luwu.
18.    Dati II Tana Toraja, meliputi bekas daerah Tana Toraja.
19.    Dati II Bone, meliputi bekas daerah  / Swapraja Bone.
20.    Dati II Wajo, meliputi bekas daerah  / Swapraja Wajo.
21.    Dati II Soppeng, meliputi bekas daerah  / Swapraja Soppeng.
22.    Dati II Bonthain, meliputi bekas Onderafdeeling Bonthain ( sebelumnya termasuk daerah Bonthain ).
23.    Dati II Bulukumba, meliputi bekas Onderafdeeling Bulukumba ( sebelumnya termasuk daerah Bonthain ).
24.    Dati II Sinjai, meliputi bekas Onderafdeeling Sinjai ( sebelumnya termasuk daerah Bonthain ).
25.    Dati II Selayar, meliputi bekas Onderafdeeling Selayar ( sebelumnya termasuk daerah Bonthain ).
26.    Kotapraja Pare-Pare, meliputi Kota Pare-Pare  ( sebelumnya termasuk daerah Pare-Pare ).
27.    Dati II Barru, meliputi bekas Swapraja-swapraja Mallusetasi, kecuali yang termasuk Kota Pare-Pare, Soppeng Riaja, Barru dan Tanete ( sebelumnya termasuk daerah Pare-Pare ).
28.    Dati II Sidenreng Rappang, meliputi bekas Swapraja-swapraja Sidenreng dan Rappang ( sebelumnya termasuk daerah Pare-Pare ).
29.    Dati II Pinrang, meliputi bekas Swapraja-swapraja Sawitto, Batulappa, Kassa dan Suppa ( sebelumnya termasuk daerah Pare-Pare ).
30.    Dati II Enrekang, meliputi bekas Swapraja-swapraja Enrekang, Maiwa dan Duri ( sebelumnya termasuk daerah Pare-Pare ).
31.    Dati II Majene, meliputi bekas Swapraja-swapraja Majene, Pambauang dan Cenrana ( sebelumnya termasuk daerah Mandar ).
32.    Dati II Mamuju, meliputi bekas Swapraja-swapraja Mamuju dan Tappalang ( sebelumnya termasuk daerah Mandar ).
33.    Dati II Polewali Mamasa, meliputi bekas Swapraja-swapraja Balanipa dan Binuang termasuk Onderafdeeling Polewali dan Onderafdeeling Mamasa   ( sebelumnya termasuk daerah Mandar ).
34.    Dati II Buton, meliputi sebagian bekas Swapraja Buton termasuk Onderafdeeling Buton ( sebelumnya termasuk daerah Sulawesi    Tenggara ).
35.    Dati II Muna, meliputi sebagian bekas Swapraja Buton termasuk bekas Onderafdeeling Muna ( sebelumnya termasuk daerah Sulawesi    Tenggara ).
36.    Dati II Kendari, meliputi bekas Swapraja Laiwui termasuk Onderafdeeling Kendari ( sebelumnya termasuk daerah Sulawesi Tenggara ).
37.    Dati II Kolaka, meliputi bekas Onderafdeeling Kolaka ( sebelumnya termasuk daerah Sulawesi Tenggara ).
Peristiwa amat penting dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia adalah keluarnya Dekrit Presiden RI 5 Juli 1959. Dekrit tersebut antara lain menetapkan berlakunya kembali UUD 1945 menggantikan UUDS 1950. Sejak itu secara otomatis semua peraturan perundangan harus berdasarkan atau sesuai dengan UUD 1945. Sehubungan dengan peraturan perundangan dan kelembagaan yang sudah ada, maka berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 masih tetap berlaku selama belum diadakannya yang baru. terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah diadakan penyempurnaan-penyempurnaan, antara lain dengan Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959, Nomor 4 dan 5 Tahun 1960.
Hal-hal penting dalam hubungannya dengan penataan pemerintahan daerah sesuai dengan penetapan-penetapan tersebut antara lain ialah :
1.      Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan DPRD.
2.      Kepala Daerah adalah alat Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah serta pimpinan dan penanggung jawab pemerintahan daerah.
3.      DPD dibubarkan diganti dengan Badan Pemerintah Harian ( BPH ) sebagai pembantu Kepala Daerah.
4.      DPRD dirubah menjadi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gotong Royong ( DPRDGR ).
5.      Kepala Daerah bertanggung jawab kepada DPRDGR.
6.      Kepala Daerah tidak diberhentikan oleh DPRDGR.
7.      Kepala Daerah karena jabatannya menjadi Ketua DPRDGR.
8.      Sekretariat Daerah sebagai penyelenggara administrasi pemerintahan daerah, dikepalai seorang Sekretaris daerah yang bertanggung jawab kepada Kepala Daerah.
Selanjutnya berdasarkan Peraturan Presiden RI Nomor 5 Tahun 1960 Tanggal 31 Maret 1960, Propinsi Sulawesi dipecah menjadi Propinsi Administratif Sulawesi Utara dengan tempat kedudukan pemerintahan di Manado, dan Propinsi Administratif Sulawesi Selatan dengan tempat kedudukan pemerintahan di Makassar.
Dalam pemecahan ini Propinsi Administratif Sulawesi Utara meliputi wilayah :
1.      Kotapraja Manado
2.      Kotapraja Gorontalo
3.      Daerah Tingkat II Sangihe dan Talaud
4.      Daerah Tingkat II Minahasa
5.      Daerah Tingkat II Bolaang Mangondow
6.      Daerah Tingkat II Gorontalo
7.      Daerah Tingkat II Buol Toli-Toli
8.      Daerah Tingkat II Donggala
9.      Daerah Tingkat II Poso
10.    Daerah Tingkat II Banggai
Propinsi Administratif Sulawesi Selatan meliputi wilayah :
1.      Kotapraja Makassar
2.      Kotapraja Pare-Pare
3.      Daerah Tingkat II Pangkajene Kepulauan
4.      Daerah Tingkat II Maros
5.      Daerah Tingkat II Gowa
6.      Daerah Tingkat II Jeneponto
7.      Daerah Tingkat II Takalar
8.      Daerah Tingkat II Luwu
9.      Daerah Tingkat II Tana Toraja
10.    Daerah Tingkat II Bone
11.    Daerah Tingkat II Wajo
12.    Daerah Tingkat II Soppeng
13.    Daerah Tingkat II Bonthain
14.    Daerah Tingkat II Bulukumba
15.    Daerah Tingkat II Sinjai
16.    Daerah Tingkat II Selayar
17.    Daerah Tingkat II Barru
18.    Daerah Tingkat II Sidenreng Rappang
19.    Daerah Tingkat II Pinrang
20.    Daerah Tingkat II Enrekang
21.    Daerah Tingkat II Majene
22.    Daerah Tingkat II Mamuju
23.    Daerah Tingkat II Polewali Mamasa
24.    Daerah Tingkat II Buton
25.    Daerah Tingkat II Muna
26.    Daerah Tingkat II Kendari
27.    Daerah Tingkat II Kolaka
Dalam konteks Kabupaten Polewali Mamasa, sejarah pembentukannya  tidak bisa dilepaskan dari peran Panitia Penuntut Kabupaten. Dalam catatan sejarah terdapat beberapa versi tentang komposisi personalia Panitia Penuntut Kabupaten Polewali Mamasa. Namun dalam penulisan ini tim penyusun merujuk pada dua sumber referensi yaitu   Panitia Penuntut Kabupaten versi Badan Arsip dan Perpustakaan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2004 tentang Inventarisasi Arsip Pemerintah Daerah Tingkat II Polmas 1918-1983 dan versi naskah sejarah singkat terbentuknya Kabupaten Polewali Mamasa yang ditulis dan dibacakan oleh H.Ibrahim Puang Limboro pada peringatan Hari Ulang Tahun Kabupaten Polewali Mamasa ke 23 tanggal 21 februari 1983.
Dalam buku Inventarisasi Arsip Pemerintah Daerah Polmas yang diterbitkan oleh Badan Arsip dan Perpustakaan Daerah Propinsi Sulawesi Selatan dijelaskan bahwa sejarah pembentukan Kabupaten Polewali Mamasa  1960 diawali diawali dengan pembentukan tim/panitia penuntut pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II Polewali Mamasa yang susunan personalianya terdiri atas :
Ketua                                     :     Andi Magga
Wakil Ketua                          :     Tamadjoe
Sekretaris                             :     Gama Musa
Anggota                                :     H. Ibrahim Puang Limboro
H.A.Paliwang
A.Pallalungang
Frans Palupadang
H.Muhsin Tahin
J.Mboe Barapadang
Sultani Dg.Panampo
Sementara dalam  naskah sejarah singkat terbentuknya Kabupaten Polewali Mamasa yang ditulis dan dibacakan oleh H.Ibrahim Puang Limboro pada peringatan Hari Ulang Tahun Kabupaten Polewali Mamasa ke 23 tanggal 21 Februari 1983 dijelaskan bahwa   pada tanggal 20 Maret 1957  diadakan suatu rapat yang dihadiri oleh pemuka pemuka masyarakat dari semua golongan. Dalam Pertemuan tersebut ditetapkan komposisi dan personalia Panitia Penuntut Kabupaten sebagai berikut :
  1. Ketua                           :     H.A.Paliwangi
  2. Wakil Ketua I              :     H.Ibrahim Puang Limboro\
  3. Wakil Ketua II             :     Tamadju
  4. Sekretaris I                  :     A.Palulungan
  5. Sekretaris II                 :     Abd.Mutalib
  6. Bendahara                  :     Sultani Daeng Manompo
  7. Pembantu                   :     Juliani Naharuddin
A.A.Hafid Mattalattu
Aco Dg.Cora
Paloncongi Pabbicara Bulan
Abdul Jabbar
Abdullah AK
Suahabuddin.S
Selanjutnya dalam naskah tersebut dijelaskan bahwa tugas utama dari Panitia Penuntut Kabupaten  yang telah dibentuk adalah menyusun rencana strategis dalam bentuk konsep dan aksi yang akan diusulkan  kepada Pemerintah Pusat untuk menyatukan Onderfdeling Polewali dan Onder  Afdeling Mamasa menjadi satu Kabupaten. Ada beberapa ide yang berkembang  dalam pemeberian nama Kabupaten tersebut. Sebagian tokoh masyarakat menghendaki nama Kabupaten yang akan  dibentuk diberi nama Kabupaten Balanipa berdasarkan tinjauan historisnya.Di sisi lain  ada juga yang mengehendaki nama Kabupaten yang akan di bentuk menjadi Kabupaten Maspol singkatan dari nama Mamasa Polewali. Namun setelah Panitia Penuntut Kabupaten melaksanakan musyawarah secara mufakat maka ditetapkanlah nama Kabupaten Polewali Mamasa sebagai nama Kabupaten yang akan diusulkan ke Pemerintah Pusat dengan Ibukotanya Wonomulyo.
Tidak dapat disangkal bahwa upaya yang dilakukan Panitia Penuntut Kabupaten dalam memperjuangkan berdirinya Kabupaten Polewali Mamasa mengalami pasang surut  dan menghadapi berbagai tantangan dan hambatan. Hal ini disebabkan karena sistuasi dan Kondisi politik Afdeling Mandar saat itu. Salah satu hambatan mendasar adalah adanya kelompok atau pihak pihak tertentu yang dengan sengaja mencoba menghalang halangi  kegiatan panitia ini. Ada secara sembunyi sembunyi melakukan provokasi untuk menghalangi pembentukan Kabupaten Polewali Mamasa dan ada pula kelompok yang secara langsung membuat resolusi ke Pemerintah pusat yang semuanya sangat merugikan strategi perjuangan.
Dengan adanya beberapa tantangan ini, Panitia Penuntut Kabupaten melakukan gerak cepat membentuk delegasi yang berangkat ke Jakarta untuk bertemu langsung Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah. Delelegasi ini terdiri dari Lima orang yaitu :
  1. J.Leboe Barapadang mewakili unsur Pemerintah
  2. Sultani Dg.Manompo mewakili unsur Cendikiawan
  3. K.H.Muksin Tahir, unsure tokoh masyarakat
  4. Gama Musa, unsur tokoh masyarakat
  5. Frans Palopadang,  unsur  tokoh masarakat
Delegasi ini  berjuang ditingkat pusat untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat dalam rangka percepatan  pembentukan Daerah Tingkat II Polewali Mamasa dibantu oleh salah seorang anggota DPRGR/MPRS asal daerah Polewali Mamasa, H.Syarifuddin.  Setelah melalui perjuangan panjang akhirnya Undang Undang Nomor 29 Tahun 1959 ditetapkan oleh Sidang Pleno DPRGR Pusat dan terbentuklah Kabupaten Daerah Tingkat II Polewali Mamasa bersama Daerah Tingkat II lainnya di Sulawesi dengan ibukota Polewali. Pemindahan rencana ibukota dari Wonomulyo ke Polewali didasarkan pada berbagai pertimbangan diantaranya pertimbangan sosial, ekonomi dan politik.
Sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan Undang Undang Nomor 29 Tahun 1959 diadakanlah pembenahan berupa pengaturan dan penyempurnaan aparat kelengkapan pemerintahan pada masing masing Daerah Tingkat II. Untuk Kabupaten Daerah Tingkat II Polewali Mamasa, pemerintah menunjuk dan melantik Andi Hasan Mangga sebagai Bupati pertama Kabupaten Polewali Mamasa pada tanggal 20 Februari 1960  sekaligus serah terima jabatan dari, Mattotorang Dg.Massikki selaku eks.Residen Afdeling Mandar.
Dalam usianya yang ke 51 Kabupaten Polewali Mandar telah beberapa kali mengalami pergantian pimpinan baik dalam jajaran eksekutif maupun legislatif diantaranya :
  1. A.     Eksekutif
    1. H.Andi Hasan Mangga ( 1960-1966)
    2. Letkol H.Abdullah Madjid (1966-1979)
    3. Drs. A.Samad Syuaib (Pjs) (1979-1980)
    4. Kol.(Purn) S. Mengga (1980-1990)
    5. Drs.H.Andi Kube Dauda (1990-1995)
    6. Drs.H.Tajuddin Noer  (Pjs) (1995-1996)
    7. Kol.H.A.Saad Pasilong (1995-1998)
    8. Kol.H.Hasyim Manggabarani,SH,MM (1998-2003)
    9. Drs. H. Syahrul Syahruddin,MS (Pjs) (2003-2004)
    10. Drs.Ali Baal Masdar,M.Si (2004-2008)
    11. H.Mujirin M.Yamin, SE,MS (Pjs) (2008)
    12. Drs.H.Ali Baal Masdar,M.Si ( 2008-2014)
  2. B.      Legislatif
    1. Badjing Abd.Rahim
    2. Muhiddin
    3. H.Anwar Pabbicara Kenje
    4. Muhiddin
    5. H.A.Rahman Ali
    6. J.M.Soerono
    7. H.A.Saad Pasilong
    8. H.Masdar Pasmar
    9. H.Bustamin Baddolo
    10. H.Hasan Sulur
    11. H.Abdullah Tato P

Terlepas dari berbagai versi tentang komposisi personalia Panitia Penuntut Kabupaten Polewali Mamasa, tim penyusun berupaya untuk tidak terjebak dalam kontroversi yang berkepanjangan. Sebaliknya tim penyusun  senantiasa mencari informasi yang valid dari nara sumber yang memahami masalah ini  dan mengkaji dokumen yang berkaitan permasalahan ini, sehingga naskah yang tersusun dapat menjadi referensi untuk penulisan lebih lanjut  Sejarah Pembentukan Kabupaten Polewali Mandar  yang dapat diterima semua kalangan.

KISAH MOTIVASI, INSPIRASI, BERMAKNA DAN PENUH CINTA KEHIDUPAN

ASAL MULA Tana Toraja....

Konon, leluhur orang Toraja adalah manusia yang berasal dari nirwana, mitos yang tetap melegenda turun temurun hingga kini secara lisan dikalangan masyarakat Toraja ini menceritakan bahwa nenek moyang masyarakat Toraja yang pertama menggunakan “tangga dari langit” untuk turun dari nirwana, yang kemudian berfungsi sebagai media komunikasi dengan Puang Matua (Tuhan Yang Maha Kuasa).

Lain lagi versi dari DR. C. CYRUT seorang anthtropolog, dalam penelitiannya menuturkan bahwa masyarakat Tana Toraja merupakan hasil dari proses akulturasi antara penduduk (lokal/pribumi) yang mendiami daratan Sulawesi Selatan dengan pendatang yang notabene adalah imigran dari Teluk Tongkin (daratan Cina). Proses akulturasi antara kedua masyarakat tersebut, berawal dari berlabuhnya Imigran Indo Cina dengan jumlah yang cukup banyak di sekitar hulu sungai yang diperkirakan lokasinya di daerah Enrekang, kemudian para imigran ini, membangun pemukimannya di daerah tersebut.

Nama Toraja mulanya diberikan oleh suku Bugis Sidendereng dan dari luwu. Orang Sidendreng menamakan penduduk daerah ini dengan sebutan To Riaja yang mengandung arti “Orang yang berdiam di negeri atas atau pegunungan”, sedang orang Luwu menyebutnya To Riajang yang artinya adalah “orang yang berdiam di sebelah barat”. Ada juga versi lain bahwa kata Toraya asal To = Tau (orang), Raya = dari kata Maraya (besar), artinya orang orang besar, bangsawan. Lama-kelamaan penyebutan tersebut menjadi Toraja, dan kata Tana berarti negeri, sehingga tempat pemukiman suku Toraja dikenal kemudian dengan Tana Toraja.

Sejarah Aluk

Konon manusia yang turun ke bumi, telah dibekali dengan aturan keagamaan yang disebut aluk. Aluk merupakan aturan keagamaan yang menjadi sumber dari budaya dan pandangan hidup leluhur suku Toraja yang mengandung nilai-nilai religius yang mengarahkan pola-pola tingkah laku hidup dan ritual suku Toraja untuk mengabdi kepada Puang Matua.

Cerita tentang perkembangan dan penyebaran Aluk terjadi dalam lima tahap, yakni: Tipamulanna Aluk ditampa dao langi’ yakni permulaan penciptaan Aluk diatas langit, Mendemme’ di kapadanganna yakni Aluk diturunkan kebumi oleh Puang Buru Langi’ dirura.
Kedua tahapan ini lebih merupakan mitos. Dalam penelitian pada hakekatnya aluk merupakan budaya/aturan hidup yang dibawa kaum imigran dari dataran Indo Cina pada sekitar 3000 tahun sampai 500 tahun sebelum masehi.

Beberapa Tokoh penting daiam penyebaran aluk, antara lain: Tomanurun Tambora Langi’ adalah pembawa aluk Sabda Saratu’ yang mengikat penganutnya dalam daerah terbatas yakni wilayah Tallu Lembangna.

Selain daripada itu terdapat Aluk Sanda Pitunna disebarluaskan oleh tiga tokoh, yaitu : Pongkapadang bersama Burake Tattiu’ menuju bagian barat Tana Toraja yakni ke Bonggakaradeng, sebagian Saluputti, Simbuang sampai pada Pitu Ulunna Salu Karua Ba’bana Minanga, derngan membawa pranata sosial yang disebut dalam bahasa Toraja “To Unnirui’ suke pa’pa, to ungkandei kandian saratu yakni pranata sosial yang tidak mengenal strata. Kemudian Pasontik bersama Burake Tambolang menuju ke daerah-daerah sebelah
timur Tana Toraja, yaitu daerah Pitung Pananaian, Rantebua, Tangdu, Ranteballa, Ta’bi, Tabang, Maindo sampai ke Luwu Selatan dan Utara dengan membawa pranata sosial yang disebut dalam bahasa Toraja : “To Unnirui’ suku dibonga, To unkandei kandean pindan”, yaitu pranata sosial yang menyusun tata kehidupan masyarakat dalam tiga strata sosial.
Tangdilino bersama Burake Tangngana ke daerah bagian tengah Tana Toraja dengan membawa pranata sosial “To unniru’i suke dibonga, To ungkandei kandean pindan”, Tangdilino diketahui menikah dua kali, yaitu dengan Buen Manik, perkawinan ini membuahkan delapan anak. Perkawinan Tangdilino dengan Salle Bi’ti dari Makale membuahkan seorang anak. Kesembilan anak Tangdilino tersebar keberbagai daerah, yaitu Pabane menuju Kesu’, Parange menuju Buntao’, Pasontik ke Pantilang, Pote’Malla ke Rongkong (Luwu), Bobolangi menuju Pitu Ulunna Salu Karua Ba’bana Minanga, Bue ke daerah Duri, Bangkudu Ma’dandan ke Bala (Mangkendek), Sirrang ke Dangle.

Itulah yang membuat seluruh Tondok Lepongan Bulan Tana Matari’ Allo diikat oleh salah satu aturan yang dikenal dengan nama Tondok Lepongan Bulan Tana Matari’ Allo arti harfiahnya adalah “Negri yang bulat seperti bulan dan
Matahari”. Nama ini mempunyai latar belakang yang bermakna, persekutuan negeri sebagai satu kesatuan yang bulat dari berbagai daerah adat. Ini dikarenakan Tana Toraja tidak pernah diperintah oleh seorang penguasa tunggal, tetapi wilayah daerahnya terdiri dari kelompok adat yang diperintah oleh masing-masing pemangku adat dan ada sekitar 32 pemangku adat di Toraja.

Karena perserikatan dan kesatuan kelompok adat tersebut, maka diberilah nama perserikatan bundar atau bulat yang terikat dalam satu pandangan hidup dan keyakinan sebagai pengikat seluruh daerah dan kelompok adat tersebut

Sumber : http://lagaligo.net

Menelisik Mandar



Muh. Idham Khalid Bodi
Litbang Kementrian Agama Sulawesi Selatan




idham_khalid_bodi
Geneologi sejarah masyarakat Mandar dapat dilacak dari cerita dan tuturan yang populer di kalangan masyarakat Mandar (termasuk Mamasa) tentang Pongkapadang dan Torije'ne, yang dianggap sebagai manusia pertama yang mendiami wilayah Mandar tepatnya di daerah yang sekarang dikenal dengan nama Tabulahan. Pongkapadang dan Torije'ne yang bertemu, menikah dan menetap di Tabulahan melahirkan tujuh orang anak yang menjadi cikal bakal dari lahirnya sejarah Mandar selanjutnya. Ketujuh anak tersebut atau yang populer dengan sebutan tau pitu.

Turunan dari hasil pernikahan putera-puteri Pongkapadang dan Torije'ne yang berjumlah sebelas orang atau tau sampulo mesa (dan turunan-turunan selanjutnya) inilah yang kemudian menyebar dan mendiami wilayah-wilayah yang dikenal dengan sebutan pitu ba'bana binanga, pitu ulunna salu, dan karua tiparitti'na uhai yang saat ini dikenal sebagai bagian dari wilayah Sulawesi Barat (Polman, Mamasa, Majene, Mamuju, Mamuju Utara, dan Mamuju Tengah).

Setelah perkembangbiakan manusia tersebut, sudah banyak daerah-daerah hunian, daerah-daerah hunian tersebut berkelompok dan membuat suatu komunitas tersendiri yang mana setiap komunitas dipimpin oleh Tomakaka. Tomakaka berasal dari kata tomaka dipakaka artinya orang yang bisa dijadikan kakak (panutan). Jumlah Tomaka yang pernah ada di daerah Mandar menurut Leyds (dikutif oleh Rahman, 1988) berjumlah 41 (empat puluh satu) Tomakaka, yaitu:

1)    Tomakaka Ulu Sa'dang
2)    Tomakaka di Motting (Botang, Rantebulahan)
3)    Tomakaka Rantebulahan
4)    Tomakaka Lembang Apu (Allu)
5)    Tomakaka Makula (Pambusuang)
6)    Tomakaka Salimbo'bo (sambo'bo', Ulu Mandak)
7)    Tomakaka Lenggo (Mapilli)
8)    Tomakaka Batuwulawang
9)    Tomakaka Garombong (Bulo, Mapilli Utara)
10)Tomakaka di Taramanu
11)Tomakaka di Pojosang
12)Tomakaka Saragian (Allu)
13) Tomakaka Ambo Padang
14)Tomakaka Kelapa Dua
15)Tomakaka Passokkoran
16)Tomakaka Malandi (Campalagian)
17)Tomakaka Karamangang
18)Tomakaka Titie (Mapilli)
19)Tomakaka Lerang-lerang
20)Tomakaka Napo
21)Tomakaka Pangale (Samasundu)
22)Tomakaka Sajoang (Allu)
23) Tomakaka Salarri (Limboro)
24)Tomakaka Leppong (Renggean)
25)Tomakaka Puttanginor (Allu)
26)Tomakaka Patui (Tandassura)
27)Tomakaka Tande (Majene)
28)Tomakaka Buttupau (Pamboang)
29)Tomakaka Salabose (Majene)
30) Tomakaka Sonde (Tappalang)
31) Tomakaka  Selumase (Tappalang)
32) Tomakaka Puttade (Cenrana))
33) Tomakaka Seppong (Ulu Mandak)
34) Tomakaka Tabang (sebelah timur Mamasa)
35) Tomakaka Balobang (Pamboang)
36) Tomakaka Puabang (Majene)
37) Tomakaka Binuang
38) Tomakaka Lebani (Mamuju)
39) Tomakaka Kalukku (Mamuju)
40)Tomakaka Kalumpang
41)Tomakaka  Lomo (Mamuju



Wacana mengenai sejarah kerajaan di Mandar pada umumnya dimulai dari terbentuknya kerajaan Balanipa pada pertengahan abad ke-16, sekalipun terdapat suatu kerajaan besar yang menonjol sebelumnya yaitu Kerajaan Passokkorang (di Mapilli, Polman) dan Kerajaan Baras (di Pasangkayu, Mamuju Utara) (Idham dan Saprillah, 2010).

Sejak abad  XVI di daerah  Mandar terdapat 14 (empat belas) kerajaan, tujuh kerajaan  yang bersatu dalam suatu organisasi ketatanegaraan berbentuk federasi yang dinamakan "Pitu Ba'bana Binaga".  C. Van. Vollenhoven dalam Baharuddin Lopa (1982) menamakannya "den zevenbond Mandar". Kemudian untuk kepentingan  strategi, ketujuh kerajaan yang terletak di pantai itu mengadakan lagi perserikatan yang lebih longgar yang mirip dengan bentuk konfederasi dengan tujuh kerajaan lainnya yang terletak di daerah pegunungan, yang satu sama lainnya terikat juga dalam  satu federasi yang dinamakan "Pitu Ulunna Salu". Dengan persekutuan dua kelompok kerajaan-kerajaan itu dinamakanlah perserikatan "Pitu Ba'bana Binanga - Pitu Ulunna Salu".

Pitu Ba'bana Binanga arti harfiahnya  adalah: Pitu artinya tujuh; Ba'bana artinya muara; Binanga artinya sungai; Pitu Ba'bana Binanga artinya tujuh muara sungai, maksudnya adalah tujuh kerajaan di bagian pesisir pantai daerah Mandar. Pitu Ulunna Salu, arti harfiahnya adalah: Pitu artinya tujuh; ulunna artinya hulu; Salu artinya  sungai. Jadi Pitu Ulunna Salu artinya tujuh  hulu sungai, maksudnya  tujuh kerajaan di bagian pegunungan daerah Mandar.

Pembentukan perserikatan Pitu Ba'bana Binanga  dan Pitu Ulunna Salu dipelopori oleh  seorang raja yang bernama To Mepayung dari kerajaan Balanipa. Mula-mula beliau mempersekutukan kerajaan-kerajaan yang terletak di pantai (muara) dalam bentuk muktamar kerajaan-kerajaan  yang melahirkan federasi Pitu Ba'bana Binanga. Tempat diadakannya muktamar itu ialah di suatu tempat  yang dinamakan Tamajarra. Selanjutnya muktamar itu dinamakan Muktamar Tamajarra.

Adapun yang hadir  dalam Muktamar Tamajarra dari Pitu Ba'bana Binanga adalah: Kerajaan Balanipa, kerajaan Sendana, kerajaan Banggae, kerajaan Pamboang, kerajaan Tappalang, kerajaan Mamuju, dan kerajaan Binuang (belum sempat hadir pada saat itu). Sedangkan dari  Pitu Ulunna Salu adalah: Kerajaan Rantebulahan, kerajaan Aralle, kerajaan Mambi, kerajaan Bambang,  kerajaan Messawa, kerajaan Tabulahan, dan kerajaan Matangnga.

Kerajaan Pitu Ba'ba Binanga adalah tujuh kerajaan di Mandar yang berada dan masing-masing berpusat di tujuh muara sungai atau di wilayah pantai. Ketujuh kerajaan tersebut adalah: (1) Kerajaan Balanipa; (2) Kerajaan Banggae; (3) Kerajaan Pamboang; (4) Kerajaan Sendana; (5) Kerajaan Tapalang; (6) Kerajaan Mamuju; (7) Kerajaan Binuang

Selain ketujuh kerajaan ini, masih banyak kerajaan-kerajaan kecil lainnya, namun ketujuh kerajaan inilah yang dianggap cukup besar dan memiliki "pengaruh" keseluruh wilayah di Mandar, bahkan hingga keluar wilayah Mandar. Kerajaan-kerajaan ini pula yang  eksis hingga zaman kemerdekaan dan menjadi sumber inspirasi dan rujukan bagi pemerintahan Belanda dalam membentuk struktur pemerintahan hingga pasca proklamasi kemerdekaan RI. Selain itu, kerajaan-kerajaan ini pula yang mewariskan berbagai nilai kesejarahan yang hingga saat ini masih dipatuhi sebagai nilai budaya yang tetap menjadi pemandu atau rujukan dalam kehidupan politik, sosial dan kemasyarakatan dari seluruh rakyat di Mandar. Pada pemerintahan raja sesudah Todilaling (diduga pada zaman raja Balanipa ke-4), syarat-syarat untuk menjadi raja atau anggota adat harus dipilih secara ketat karena tanggung jawab dan tugasnya begitu berat. Masa jabatan tidak dibatasi tetapi kalau melakukan kesalahan atau tidak mampu menjalankan tugasnya, maka rakyat akan menurunkannya dari jabatannya. Prinsip-prinsip yang dipedomani dicerminkan oleh ungkapan:
Naiya mara'dia tammatindo di bongi, tarrare di allo, mappikkirri:
          - di mamatanna daung ayu
          - di malimbonna rura
          - di madinginna lita'
          - di ajarianna banne tau, anna
          - di atepuanna agama.   
Artinya (terjemah bebas oleh penulis):
Seorang raja tidak boleh tidur nyenyak di waktu malam, tidak boleh berdiam diri di waktu siang, tetapi ia harus senantiasa memperhatikan:
- Hijau suburnya daun-daunan;
- Dalam dangkalnya tebat/tambak;
- Aman dan damainya masyarakat / negara
- Berkembang biaknya manusia/penduduk
- Mantapnya kehidupan beragama.
                         
Syarat yang ketat untuk menjadi raja ini mewariskan suatu nilai tentang prinsip-prinsip kepemimpinan yang harus mendahulukan kepentingan rakyat terutama yang berkaitan dengan kehidupan ekonomi, sosial kemasyarakatan, keamanan dan ketertiban masyarakat. Nilai kepemimpinan ini mulai meletakkan dasar-dasar kehidupan beragama karena seperti diketahui Raja Balanipa Pertama,  Daengta adalah raja yang pertama kali memeluk Islam.

Setelah dilaksanakannya muktamar Tammejarra I, maka di bagian pegunungan daerah Mandar terbentuk juga persekutuan tujuh buah kerajaan yang bernama Pitu Ulunna Salu. Atas inisiatif Tomepayung (raja Balanipa II) diadakan perjanjian antara kerajaan-kerajaan Pitu Ba'bana Binanga dengan kerajaan-kerajaan Pitu Ulunna Salu, yang mengandung permufakatan bekerjasama dalam pertahanan dan keamanan. Pertemuan mengadakan perjanjian tersebut bertempat di Luyo yang menghasilkan ikrar yang dinamai Allamungan Batu di Luyo (perjanjian Luyo).

Persekutuan antar  wilayah dalam PUS ini berdasarkan pada prinsip egalitarianisme, kesederajatan dan persaudaraan. Itu berarti tak ada satu wilayah yang menguasai wilayah lainnya, setiap wilayah memiliki derajat yang sama, dan karena itu tidak ada pemimpin tunggal. Hal yang membedakan adalah tugas dan fungsi masing-masing wilayah. Fungsi dan peran masing-masing wilayah dalam kesatuan PUS adalah sebagai berikut: (1) Tabulahan; (2) Rante Bulahan; (3) Mambi; (4) Aralle; (5) Matangnga; (6) Tabang; (7) Bambang

Setelah pitu ulunna salu terbentuk di daerah pegunungan, ada beberapa daerah yang mempertanyakan posisinya dalam federasi kerajaan-kerajaan tersebut. Untuk mengakomodir mereka, dibentuklah apa yang disebut karua tiparitti'na uhai (Mandadung, 2006). Karua tiparitti'na uhai artinya delapan tetesan air. Maksudnya delapan wilayah anak sungai dari tujuh kerajaan hulu sungai. Adapun daerah yang termasuk dalam karua tiparitti'na uhai adalah:
1.    Mamasa bergelar Rambusaratu' (tempat memasak)
2.    Osango bergelar tokerang sepu
3.     Mala'bo' bergelar Tandu kalua' talasan maroso' (keamanan)
4.    Messawa bergelar Talinga rara'na Ulu Salu (inteligent)
5.    Lakkese  bergelar kulambu sura' (penyimpanan dokumen)
6.    Tu'bi bergelar Karihatana Ulunna Salu (pondasi atau tanggul)
7.    Taramanu' bergelar Tutu' ba'bana ulunna salu (daun pintu)
8.    Ulumanda' bergelar sulluran bassinna ulu salu (pintu besi).

Secara politis, posisi Karua Tiparitti'na Uhai adalah sebagai penyokong atau penyangga Pitu Ulunna Salu. Dengan demikian, Karua Tiparitti'na Uhai merupakan bagian yang integral dengan Pitu Ulunna Salu. Hanya saja pada zaman Belanda, posisi persekutuan wilayah Karua Tiparitti'na Uhai mendapatkan posisi yang baik sehingga menjadi sederajat dengan PUS. Bahkan Mamasa, salah satu anggota Karua Tiparitti'na Uhai menjadi pusat pemerintahan (Idham, 2009).

Palili adalah kerajaan-kerajaan kecil yang berada di perbatasan antara PUS dengan PBB. Hukum adat yang dipakai di daerah Palili adalah hukum yang yang dipengaruhi oleh hukum PUS dan PBB. Pengaruh hukum tersebut kekuatannya ditentukan oleh posisinya, bila ia dekat dengan PUS maka yang lebih dominan adalah hukum yang di pakai di PUS, demikian sebaliknya bila ia berdekatan dengan PBB maka yang dominan adalah hukum yang dipakai di PBB (Idham, 2009).

Palili ini merupakan delapan kerajaan kecil yang otonom di daerahnya masing-masing. Karena jumlahnya delapan maka biasa juga disebut Palili Arua. Adapun kedelapan kerajaan tersebut, adalah: (1) Batu; (2) Tapango; (3) Sabura; (4) Kurra; (5) Dakka; (6) Mapilli; (7) Rappang; (8) Andau  

Sejak kekalahan kerajaan Gowa (1667), Belanda sangat berambisi untuk menguasai secara de facto seluruh kerajaan di pulau Sulawesi termasuk kerajaan-kerajaan di Mandar. Melalui diplomasi, Belanda mengirim delegasi dari kerajaan Bone yang intinya mengajak upaya damai dan tidak usah saling berperang lagi. Tetapi raja Balanipa Tomatindo di Langgana tidak menerima ajakan itu. Peristiwa ini dimanfaatkan dengan baik oleh Belanda untuk menyerang kerajaan di Mandar dengan memanfaatkan tentara kerajaan Bone.

Maka sekitar tahun 1669, Mandar diserang oleh Belanda dibantu oleh tentara kerajaan Bone. Dalam pertempuran ini tampillah Daeng Rioso salah seorang bangsawan kerajaan Balanipa memimpin langsung pertempuran. Daeng Rioso tampil setelah kerajaan Balanipa sudah hampir kalah dan setelah Raja Balanipa Tomatindo di Langgana menawarkan kepada siapa saja "Ana' Pattola Payung" yang bisa menyelamatkan kerajaan dan nantinya sekaligus berhak menggantikannya.

Pada tahun 1916, Belanda memposisikan Kerajaan Pitu Ba'ba Binanga dan Pitu Ulunna Salu sebagai salah satu afdeling dari sebelas afdeling dari dua kresidenan di Celebes yakni Kresidenan Celebes Utara dan Kresidenan Celebes Selatan. Dengan wilayah yang meliputi 14 kerajaan, afdeling tersebut diberi nama afdeling Mandar yang menunjukkan bahwa:
 Mandar berarti wilayah yang meliputi 14 perserikatan kerajaan:
1.    Mandar diakui sebagai suatu wilayah pemerintahan yang memiliki nilai sejarah dan budaya yang berakar pada keempat belas kerajaan, sehingga nama Mandar dapat diterima oleh semua kerajaan;
2.    Afdeling Mandar setara dengan beberapa afdeling lain di Celebes misalnya afdeling Buton yang kemudian menjadi satu Provinsi (Sulawesi Tenggara);
3.     Mandar adalah suatu wilayah strategis di Celebes, khususnya jika dilihat dalam perspektif ekonomi dan pemerintahan (KAPP Sulbar, 1998).

Bagi raja-raja dan rakyat di Mandar, pemerintahan afdeling Mandar adalah proses yang dianggap realistis setelah semua daya dan kekuatan untuk melakukan perlawanan ternyata mengalami kegagalan.

Sampai Belanda dikalahkan oleh Jepang pada tahun 1942, tidak ada lagi pemberontakan yang berarti kecuali perjuangan yang bersifat politik. Dari sejumlah organisasi-organisasi politik yang cukup berpengaruh yakni Syarikat Islam yang dikampanyekan di Mandar pertama kali pada tahun 1914, dan Partai Nasional Indonesia, kader-kader kedua partai inilah kemudian menjadi motivator perjuangan di era perjuangan fisik. Adapun organisasi Muhammadiyah baru berkiprah pada menjelang tentara Jepang datang dan lebih banyak menyelenggarakan kegiatan pendidikan.

Zaman pendudukan Jepang yang relatif singkat (1942-1945) rupanya tidak memberi kesempatan bagi Jepang untuk melakukan perobahan-perobahan mendasar dibidang pemerintahan. Selama itu, kekuasaan dan peran raja-raja dipertahankan sedangkan kegiatan Jepang lebih banyak terfokus kepada pembinaan sumber daya militer. Seperti halnya di tempat lain di Indonesia, milisi dan pendidikan tentara yang dilakukan terhadap penduduk (pemuda-pemuda) akhirnya menjadi faktor yang sangat mempengaruhi kemampuan dan kualitas perjuangan fisik rakyat Mandar pada saat sekutu memenangkan peran melawan Jepang (Idham, 2009).

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959, Afdeling Mandar dimekarkan menjadi tiga kabupaten, yakni:
a.     Bekas onder afdeling Mamuju menjadi Kabupaten Mamuju,
b.    Bekas onder afdeling Majene menjadi Kabupaten Majene, dan
c.     Bekas onder afdeling Polewali dan bekas onder afdeling Mamasa menjadi Kabupaten Polewali Mamasa (Panitia seminar Kebudayaan Mandar, 10987).


Gagasan pembentukan Provinsi Sulawesi Barat telah berlangsung cukup lama bahkan telah muncul pada saat awal-awal kemerdekaan RI. Setidaknya ada enam tahapan pembentukan Provinsi Sulawesi Barat, yaitu:

Tahapan pertama. Pada tahap ini, perjuangan masih terbatas dalam bayang-bayang dan pikiran para pejuang-pejuang kemerdekaan di Mandar diantaranya oleh H.A. Malik Pattana Endeng dan pemuda-pemuda pejuang, bahwa kelak jika Indonesia merdeka wilayah Pitu Ba'ba Binanga dan Pitu Ulunna Salu  akan menjadi Kresidenan atau Provinsi sendiri. Aspek kesejarahan adalah modal dari perjuangan ini. Namun seperti yang mereka saksikan pemerintah R.I. setelah melakukan rapat pada tanggal 19 Agustus 1945 hanya membagi Indonesia kedalam delapan provinsi dan semua pasrah penerima kenyataan, hanya ada satu provinsi di Sulawesi yakni Provinsi Sulawesi.

Tahapan Kedua. Pada masa pemerintahan Negara Indonesia Timur beberapa kekuatan perjuangan telah mempersiapkan suatu rencana pemerintahan Kresidenan/Provinsi. Aspirasi ini muncul pada hampir semua wilayah eks afdeling Mandar. Namun yang menonjol dan terorganisir ialah kiprah Badan Permupakatan Nasional disingkat BAPNAS yang dibentuk pada tanggal 17 Agustus 1948 yang berkedudukan di ibukota afdeling Mandar, Majene. Organisasi ini diprakarsai oleh Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII).

Tahapan Ketiga. Periode dari tahun 1950-1965, adalah masa yang tidak kalah pahitnya dengan keadaan sebelum kemerdekaan dan sesudahnya. Pada masa ini terjadilah pemberontakan Kahar Muzakkar dan seperti halnya dengan daerah-daerah lain di Sulawesi Selatan wilayah eks afdeling Mandar praktis terisolasi dari pemerintah pusat maupun dari pemerintah Provinsi. Hampir seluruh Mamuju menjadi daerah de-facto DI/TII, demikian juga Majene dan Polmas pada saat itu. Keadaan menjadi sangat buruk karena pemerintah di wilayah ini seperti berada dalam keadaan darurat perang sementara pemerintahan swapraja kurang berfungsi. Namun dalam suasana politik dan pemerintahan lokal yang mencekam itu muncullah gerakan pemuda yang menanamkan diri "Front Pembebasan Rakyat Tertindas Mandar (FPRTM)" pada tahun 1958 yang menginginkan diakhirinya dualisme kekuasaan di wilayah Mandar dan agar kekuasaan Andi Selle dan anak buahnya yang tidak terkendali dan banyak melakukan pelanggaran hak-hak azasi manusia dilenyapkan dari tanah Mandar.

Tahapan Keempat. Masih tokoh-tokoh yang sama pada tahun 1958, ditambah dengan mahasiswa-mahasiswa yang merupakan gelombang pertama orang-orang Mandar yang mulai memasuki perguruan tinggi di Makassar. Di Makassar, mulai terbentuk organisasi-organisasi kemasyarakatan, masing-masing mewakili daerah-daerah eks swantara bahkan ada yang mewakili distrik atau eks wilayah-wilayah kerajaan-kerajaan. Demikian juga organisasi pemuda dan mahasiswa, tampil sebagai organisasi mengatasnamakan Polmas, Majene, dan Mamuju. Namun yang perlu dicatat ialah terbentuknya "Mandar study and Sport Club (MSSC)" pada tanggal 10 November 1964 menjadi organisasi mahasiswa lintas kabupaten. Dari club inilah lahir gagasan-gagasan yang lebih fokus kearah "kesadaran baru" untuk bangkit membangun Mandar yang "pembebasannya" diperjuangkan oleh senior-senior mereka. Gagasan yang paling mengemuka ialah perlunya mendesak Pemerintah Pusat agar Mandar dijadikan Provinsi tersendiri.

Tahapan Kelima. Tahap kelima ini boleh dikatakan gabungan atau puncak dari suatu perjuangan pembentukan provinsi Mandar (Sulawesi Barat) dalam suatu proses yang cukup lama sejak gagal menjadi Provinsi pada tahun 1964. Selama hampir tiga puluh tahun, nyaris tidak ada aspirasi terbuka yang menuntut perobahan politik dan pemerintahan, termasuk aspirasi pemekaran.

Dikatakan puncak perjuangan karena tokoh-tokohnya merupakan gabungan dari tokoh tua yang masuk kategori penggagas pada tahap pertama dan kedua dan tergolong sebagai pejuang kemerdekaan Republik Indonesia (yag masih hidup).

Selama kurun waktu 1994-1997, obsesi untuk membentuk provinsi Sulawesi Barat masih terbatas sebagai wacana pada kegiatan diskusi dan sarasehan, satu dan lain hal karena politik kenegaraan yang menempatkan Presiden Soeharto sebagai segala-galanya, sistem politik yang berwajah tunggal, sentralistis dan anti perubahan. Tetapi dalam tahap ini pula idealisme dan aspirasi pembentukan provinsi Sulawesi Barat menemukan bentuknya yang paling hakiki yakni "berjuang dalam kondisi apapun". Oleh karena itu, perjuangan pembentukan provinsi Sulawesi Barat tidak bisa terbelenggu sebagai wacana saja, tetapi telah dilontarkan secara terbuka. Dan itu terjadi jauh sebelum gelombang reformasi datang pada tahun 1998, setidak-tidaknya antara tahun 1995-1998, khususnya pada setiap pertemuan silaturrahmi dan Halal Bi Halal tahunan.

Pada berbagai kesempatan, Sulawesi Barat disosialisasikan dikalangan cendekiawan, tokoh-tokoh masyarakat, sampai datang saatnya untuk memulai gerakan secara terencana pada September 1998. Diawali dengan pertemuan-pertemuan terbatas pada awal tahun 1998, Forum Sipamandar akhirnya membentuk Komite Aksi Pembentukan Provinsi Sulawesi Barat (KAPP-SULBAR).

Tahap Keenam. Tahapan ini merupakan puncak dari keberhasilan perjuangan pembentukan Provinsi Sulawesi Barat. Setelah melalui proses politik yang cukup panjang, dengan segala kekuatan yang ada, seluruh masyarakat bersatu untuk mewujudkan bekas afdeling Mandar Menjadi satu provinsi tersendiri, terpisah dari provinsi Sulawesi Selatan. Perjuangan terus bergulir, dan pada tanggal 22 September 2004 DPR RI menyetujui Pembentukan Provinsi Sulawesi Barat untuk dikirim ke Presiden. Tanggal 5 Oktober 2004 UU No. 26 tentang pembentukan Provinsi Sulawesi Barat pun ditandatangani oleh Presiden RI, Megawati Soekarno Putri, serta pada tanggal 16 Oktober 2004 Provinsi Sulawesi Barat  diresmikan oleh menteri Dalam Negeri Hari Sabarno atas nama Presiden RI di Mamuju.

Sebagaimana lazimnya, setiap daerah pemekaran (provinsi), pemerintahan pertama diangkat langsung oleh  Presiden. Adapun penjabat pertama Gubernur Provinsi Sulawesi Barat adalah DR. Oentarto Sindung Mawardi. Oentarto yang menjabat hampir dua tahun menyelasaikan pembentukan perangkat pemerintahan provinsi, pembentukan KPU Provinsi. Karena dianggap lamban, maka pemerintah pusat mengangkat penjabat Gubernur kedua, yakni Drs. H. Syamsul Arif Bulu. Syamsul Arif Bulu menjabat Gubernur  sekitar satu tahun dengan agenda utama pelantikan DPRD Sulawesi Barat dan pemilihan Gubernur Sulawesi barat yang defenitif.

UU Nomor 26 tahun 2004 meliputi lima daerah kabupaten, yakni Kabupaten Polewali Mandar, Kabupaten Majene, Kabupaten Mamasa, Kabupaten Mamuju, dan Kabupaten Mamuju Utara. Dengan demikian, daerah wilayah Provinsi Sulawesi Barat meliputi wilayah Onder Afdeling Mandar pada zaman pemerintahan Hindia Belanda (Idham, 2009).

Mandar dapat bermakna teritorial (wilayah), suku bangsa, dan nilai. Mandar sebagai teritorial, memiliki perkembangahn kota-kota mengikuti perkembangan sejarah wilayah yang ada di dalamnya. Pada zaman empat belas kerajaan (PUS dan PBB), maka pusat kota berada di Balanipa, dimana Balanipa sebagai ama (bapak atau ketua). Pada masa kolonial, pada saat terbentuknya afdeling Mandar, ibukota pemerintah administratif berada di Banggae (Majene), majene sebagai pusat pemerintahan juga sebagai pusat pendidikan dan kesehatan (Idham 2011).

Seiring perkembangan waktu, setelah afdeling Mandar terbagi ke dalam tiga kabupaten, pusat kota pemerintahanpun terpecah, yakni kabupaten Polewali Mamasa beribukota di Polewali, Kabupaten Majene beribukota di Banggae, dan Kabupaten Mamuju beribukota di Mamuju.

Setelah provinsi Barat berdiri sendiri, berpisah dari induknya, Sulawesi Selatan, ibukota provinsi Sulawesi Barat yang wilayahnya meliputi wilayah Afdeling Mandar berada di Mamuju.

Konflik ATM merupakan istilah yang populer di media massa untuk menyebut peristiwa konflik sosial yang terjadi di wilayah Aralle, Tabulahan, dan Mambi. Tidak terlalu jelas siapa atau media apa yang memulai peristilahan itu. Kuat dugaan penyebutan ini dimaksudkan untuk lebih memudahkan penyebutan dan kedengarannya lebih pop dan lebih familiar.
Husken dan Jonge (2003) telah mengingatkan bahwa konflik yang terjadi di Indonesia bukan konflik yang a-historis. Atau dengan kata lain, konflik yang terjadi di Indonesia selalu memiliki latar belakang sejarah konflik sebelumnya. Konflik antar kelompok Islam dan Kristen sangat mudah terjadi karena sebelumnya telah sering terjadi konfrontasi yang menyejarah, misalnya konflik antar umat Islam dan Kristen pada zaman perang salib dan zaman kolonialisme Belanda. Dwi Aries Tina (2005) yang melakukan penelitian terhadap konflik Luwu juga menemukan bahwa konflik Luwu tidak muncul secara tiba-tiba (a-history). Ada berbagai konflik sosial yang 'mendahului', berbagai konflik sosial di Luwu yang terjadi sejak zaman kolonial Belanda, zaman DI/TII, dan konflik sosial di awal kemerdekaan.

Demikian pula yang terjadi dalam konteks konflik ATM, sebelum terjadinya kerusuhan sosial di wilayah Aralle dan Mambi itu, relasi sosial politik ekonomi, dan agama antar wilayah di PUS dan Mamasa telah seringkali mengalami ketegangan (yang kadang-kadang berujung pada terjadinya konflik sosial). Konflik sosial hanya terjadi di beberapa desa di Aralle dan Mambi, sedangkan di Tabulahan tidak terjadi konflik. Tapi Tabulahan menolak bergabung dengan Kabupaten Mamasa. Hal ini juga menunjukkan bahwa penggunaan istilah konflik ATM tidak terlalu  tepat mengingat Tabulahan tidak terjadi konflik. Berikut disajikan beberapa peristiwa ketegangan sosial antar warga di wilayah PUS dan Mamasa sebelumnya
  
Tabel 1. Tahapan Peristiwa Ketegangan Sosial PUS – Mamasa
Sebelum UU No. 11 Tahun 2002

No
Tahap
Waktu/ zaman
Masalah
1
Pertama
Belanda
Kebijakan colonial Belanda yang menjadikan onderafdeling Mamasa dengan ibu kota di Mamasa,  dimana PUS tidak puas dalam hal ini.
2
Kedua
Jepang
Ketegangan terjadi karena Jepang lebih memihak Islam.
3
Ketiga
DI/TII
§ DI/TII menguasai Mambi
§ OPR yang diprakarsai masyarakat Tabulahan menyerang Mambi dan mengalahkan DI/TII
§ Masyarakat Mambi bersama OPR membantu OPD di Mamasa melawan 710.
§ 710 kalah, OPR dan OPD bermusuhan.
§ OPR keluar dari Mamasa karena OPD dibantu GRTB.
4
Keempat
1959
Keinginan beberapa tokoh bekas onderafdeling Mamasa untuk membentuk kabupaten Mamasa, akan tetapi sebahagian masyarakat PUS menolak.
5
Kelima
1983
Ketengangan akibat buntut dari tahap ketiga tersebut di atas, masyarakat Aralle ingin mengambil kembali tanahnya yang dicaplok pada ewaktu itu.
6
Keenam
1986/1987
Keinginan tokoh  masyarakat Mamasa yang duduk di legislatif untuk membentuk kabupaten Mamasa, lagi-lagi keinginan ini ditolak sebahagian masyarakat PUS.
Sumber: diolah dari hasil wawancara, FGD, dan dokumentasi.


Konflik ATM merupakan konflik yang sangat kompleks. Sangat sulit untuk menentukan secara jelas kronologis peristiwa ini (terutama pada saat terjadinya konflik terbuka). Ini karena beragamnya berbagai cerita dari masyarakat yang masing-masing sangat subyektif. Meski demikian, penulis membagi kronologi peristiwa konflik sosial di ATM dapat dibagi kepada dua  babakan besar, yaitu:

Konflik pra pembentukan Kabupaten Mamasa
Sebagai kelanjutan dari upaya pemekaran Kabupaten Mamasa yang telah diwacanakan sejak puluhan tahun yang lalu, para tokoh Mamasa mendapatkan peluang untuk kembali mewacanakan terbentuknya Kabupaten Mamasa beriringan dengan berlakunya Undang-Undang Otonomi Daerah, tepatnya UU. No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, dimana di dalamnya diatur peluang untuk melakukan pemekaran wilayah bagi wilayah-wilayah eks kewedanan. Asumsi politis yang melatarbelakangi wacana pembentukan Kabupaten Mamasa adalah kurangnya akses tokoh-tokoh Mamasa dalam diskursus politik di Kabupaten Polmas. Hal ini kemudian berimplikasi pada kurangnya perhatian pemerintah Kabupaten Polmas terhadap pembangunan Mamasa. Akibatnya Mamasa menjadi tertinggal dan terbelakang.

Konflik pasca pembentukan Kabupaten Mamasa (2002-2005)
Pasca penetapan pembentukan Kabupaten Mamasa melalui UU. No. 11 Tahun 2002, terjadi reaksi dari pihak di daerah Aralle, Tabulahan dan Mambi yang merasa tidak puas dengan subtansi UU tersebut. Pasal 3 UU. N0. 11 2002 berbunyi: "Kabupaten Mamasa berasal dari sebagian wilayah Kabupaten Polewali Mamasa yang terdiri atas: Kecamatan Tabulahan, Kecamatan Mamasa, Kecamatan Tabang, Kecamatan Pana', Kecamatan Messawa, Kecamatan Sumarorong, Kecamatan Sesenapadang, Kecamatan Tanduk Kalua', Kecamatan Mambi, dan, Kecamatan Aralle.  UU No. 11 2002 ini tidak disertai penjelasan mengenai boleh tidaknya kecamatan-kecamatan atau desa-desa yang menolak bergabung untuk tetap berada di bawah pemerintahan Kabupaten lama. Hal ini memunculkan kecurigaan dari pihak kontra pemekaran, bahwa ini merupakan permainan politik tokoh-tokoh Mamasa yang mengaburkan perjanjian Matakali dan rekomendasi DPRD Sulawesi Selatan.

Undang-Undang No 11 2002 yang menjadi landasan normatif bagi pembentukan Kabupaten Mamasa dinilai tidak mengindahkan kesepakatan Matakali dan rekomendasi DPRD Sulawesi Selatan yang membolehkan desa atau kelurahan yang menolak bergabung dengan Mamasa untuk tetap bergabung dengan Kabupaten induk di Polewali.

Penyebab konflik ATM dapat dibagi dalam tiga struktur kategori. Pada lapis terbawah atau akar konflik (core of conflict) diisi oleh konteks budaya yang diproduksi oleh sejarah masa lalu. Pada lapis kedua atau disebut dengan konteks pendukung (facilitating context) diisi oleh konteks politik, terutama efek politik di sekitar penerbitan UU. No. 11 Tahun 2002. Konteks politik dalam konflik ATM memberikan porsi terbesar dalam konflik ATM. Lapisan terakhir dalam konflik ATM atau sumbu konflik (fuse of conflict). Selain politik, lapisan kedua ini juga diisi oleh konteks agama, terutama polarisasi pemukiman warga yang mengikuti pola pemukiman terpisah berdasarkan anutan agama tertentu.  Sumbu konflik adalah peristiwa-peristiwa sosial antar kelompok atau kebijakan-kebijakan Pemerintah Kabupaten Mamasa yang tidak populer, yang kemudian meledak menjadi konflik kekerasan sepanjang tahun 2002-2005 (Idham, 2009).


Husken, Frans dan Huub de Jonge. 2003. Orde Zonder Order; Kekerasan dan Dendam di Indonesia 1965-1998. diterjemahkan dari buku asli yang berjudul " Violence and Vengeance;Discontent and Conflict in New Order Indonesia. Yogyakarta, LKiS

Idham dan Saprillah. 2010. Sejarah Perjuangan Pembentukan Provinsi Sulawesi Barat.  Yogyakarta: Zada Hanifa

Idham. 2009. Dinamika dan Resolusi Konflik  (Studi Tentang Konflik Sosial di Kecamatan Aralle, Tabulahan, dan Mambi (ATM) Sulawesi Barat). Makassar: PPs UNM

Idham. 2009. Makna Lambang Provinsi Sulawesi Barat (The Meaning of Logogram of West Sulawesi. Makassar: Indobis Publisher

Idham. 2011. Kamus Besar Bahasa Mandar-Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Zada Hanifa

Komite Aksi Pembentukan Provinsi Sulawesi barat (KAPP-Sulbar). 2001. Provinsi Sulawesi barat: Suatu Keniscayaan Sejarah (Studi Kelayakan). Tidak diterbitkan.

Lopa, Baharuddin. 1982. Hukum Laut, Pelayaran dan Perniagaan. Bandung: Alumni

Rahman, Darmawan Mas'ud. 1988. Puang dan Daeng Kajian Sistem Nilai Budaya Orang Balanipa Mandar. Ujungpandang: PPs UNHAS

Saharuddin. 1985. Mengenal Pitu Ba'bana Binanga (Mandar) dalam Lintasan Sejarah   Pemerintahan Daerah di Sulawesi Selatan. Ujungpandang: CV. Mallomo Karya.

Sahuding, Sarman. 2004. Pitu Ulunna Salu Dalam Imperium Sejarah: Menguak Kisah Rakyat Mandar ditulis dengan Gaya Jurnalisme Modern. Makassar: Selatan Jaya.

Tina NK., Dwia Aries. 2005. Kekerasan Komunal dan Damai: Studi Dinamika dan Pengelolaan Konflik Sosial Luwu. Makassar: PPs UNHAS.