Jumat, 25 Maret 2016

PAKAIAN ADAT SULAWESI BARAT


PAKAIAN ADAT SULAWESI BARAT

Provinsi Sulawesi Barat memiliki keragaman tata busana atau baju tradisionalnya. Hal tersebut dapat dilihat dari tari tradisional Sulawesi Barat yang memiliki keragaman dalam busananya.
Misalnya, pada tari Bamba Manurung yang merupakan tarian adat Tradisional yang biasa dipertunjukkan pada saat acara pesta Adat Mamuju di hadapan para penghulu adat dan tokoh masyarakat Mamuju. Busana yang dipakai pada tari tersebut bernama baju Badu. Adapun perlengkapan atau aksesoris yang menghias pada baju ini ialah bunga beru-beru atau bunga melati dan kipas.
Ada lagi tari Bulu Londong yang merupakan tarian tradisional yang dilakukan sebagai pengucapan syukur dalam acara Rambutuka. Tarian ini menggunakan baju adat mamasa. Baju adat mamasa terbuat dari bulu burung. Adapun aksesoris yang melengkapi baju adat ini ialah kepala manusia, sengo, terompet alam bambu, tombak atau pedang.
Tarian yang lainnya ialah tari Ma’bundu yang merupakan tarian perang tradisional kreasi baru yang dipadukan dengan beberapa tarian Tradisional Kecamatan Kalumpang dan kecamatan Bonehau  Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat. Busana yang dipakai pada tari ini ialah pakaian kebesaran BEI. Baju kebesaran BEI dihiasi dengan ukir-ukiran yang  terbuat dari kerang kecil. Pakaian kebesaran BEI dihiasi dengan topi bertanduk dan berpalo-palo. Aksesori pada bagian tangan berupa potto ballusu (gelang-gelang ditangan). Para penari menggunakan tombak, gendang.
Selain baju adat yang biasa dikenakan dalam pertunjukan tari, Sulawesi Barat terkenal dengan tenu ikat tradisional sekomandi yang berasal dari Kalumpangan. Tenun ikat tradisional merupakan produk budaya yang telah berusia ratusan tahun dan terus dipelihara oleh masyarkat adatnya. Tenun Tradisional Sekomandi Kalumpang, terbuat dari kulit kayu dengan pewarna alami. Pewarna tersebut diambil dari salah satunya cabai. Untuk memberi warna, mula-mula kulit kayu ditumbuk kemudian diolah untuk  pintal.  Untuk membuat zat pewarna alami dari cabai, cabai di racik dan kemudian di campurkan dengan corak warna lainnya yang diinginkan. Biasanya tenun ini didominasi dengan warna  hitam, coklat, merah, dan krem.  Warna dasar adalah hitam.

Keunikan kain tenun ini terdapat di pola, warna, dan struktur kain. Semuanya dikerjakan dengan tangan dan di tenun dengan alat tradisional. Dibutuhkan waktu berminggu-minggu hingga hitungan bulan untuk memperoleh tenunan kualitas terbaik yang harganya bisa mencapai sepuluh juta rupiah.
Tenun tradisional sekomandi telah dikenal di mancanegara.karena dipasarkan melalui Bali oleh para pembuat kain dari Kalumpang. Banyak juga turis yang langsung membeli dipusat pembuatannya. Tenun ini dapat digunakan untuk untuk pakaian, selendang, taplak, dan banyak lagi.
Pemerintah kabupaten Mamuju secara aktif telah melakukan upaya pelestarian. Pelestarian tersebut berupa pemeliharaan, pendokumentasian, dan mempublikasikan warisan budaya, agar asset parawisata tradisional tetap terjaga.

PESONA WISATA PROPINSI SULAWESI BARAT

PESONA WISATA PROPINSI SULAWESI BARAT

LOGO PROV.SUL-BAR
LOGO PROV.SUL-BAR

Sulawesi Barat, adalah  propinsi pemekaran  Sulawesi Selatan, berdasarkan  UU No 26 Thn 2004,  dengan ibukota  Mamuju, wilayahnya meliputi, 5 kabupaten yaitu, kabupaten Mamuju, kabupaten Majene, kabupaten Polewali Mandar, kabupaten Mamasa dan kabupaten Mamuju Utara, letak geografisnya berada pada posisi  silang  antara Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Tengah, dan berhadapan langsung dengan Selat Makassar  sebagai jalur  pelayaran  Nasional dan International.  Kondisi Topografinya terdiri atas laut, dataran rendah serta dataran tinggi dengan  tingkat kesuburan yang tinggi  beriklim tropis .
Masyarakat Pesisir Sulawesi Barat terkenal sebagai pelaut ulung dengan perahu sandeq mereka menjelajah ke seluruh wilayah  nusantara  hingga ke  Malaysia dan Australia sedangkan masyarakat yang berdiam di kawasan pegunungan memiliki kemiripan budaya dengan etnis Toraja seperti pada bentuk rumah, bahasa, pakaian serta upacara adat.
Sulawesi Barat memiliki daya tarik wisata alam yang fantastic dengan keasrian  panorama pegunungan yang masih asli, keunikan budaya masyarakat  serta  sajian beragam jenis wisata minat khusus  yang tersebar diberbagai wilayah pantai dan pegunungan yang memerlukan keahlian tersendiri untuk menaklukannya.
Beberapa destinasi wisata  yang ada di Sulawesi Barat AIR TERJUN TAMASAPI MAMUJUhttp://ragamsulawesibarat.blogspot.co.id/
AIR TERJUN TAMASAPI MAMUJU
ALAT TENUN IKAT TRADISIONAL SEKOMANDI
ALAT TENUN IKAT TRADISIONAL SEKOMANDI

BAJU PRIMITIF (BABU)
BAJU PRIMITIF (BABU) BENDA-BENDA TRADISIONAL MANDAR
BENDA-BENDA TRADISIONAL MANDAR


CENRAMATA
CENRAMATA

GUA LIDA PULAU KARAMPUANG
GUA LIDA PULAU KARAMPUANG
INDUSTRI KAIN TENUN MAMASA
INDUSTRI KAIN TENUN MAMASA
KAIN SUTRA MANDAR
KAIN SUTRA MANDAR

KAIN TENUN IKAT TRADISIONAL SEKOMANDI
KAIN TENUN IKAT TRADISIONAL SEKOMANDI
KALUMPANG MAMUJU
KALUMPANG MAMUJU

KERAJINAN TRADISIONAL
KERAJINAN TRADISIONAL

KOMPLEX RUMAH ADAT MAMUJU
KOMPLEX RUMAH ADAT MAMUJU KUBURAN GUA BATU DI KALUMPANG
KUBURAN GUA BATU DI KALUMPANG

LESUNG BATU DI KALUMPANG
LESUNG BATU DI KALUMPANG



LOMBA DAYUNG PERAHU TRADISIONAL KULUBELANG
LOMBA DAYUNG PERAHU TRADISIONAL KULUBELANG

MINIATUR RUMAH ADAT MAMASA
MINIATUR RUMAH ADAT MAMASA
MUMMI 1
MUMMI
MUMMI

OBYEK WISATA ALAM POLMAN
OBYEK WISATA ALAM POLMAN
OBYEK WISATA BAHARI (BAGANG)
OBYEK WISATA BAHARI (BAGANG)
OBYEK WISATA TAMBAK MAMUJU
OBYEK WISATA TAMBAK MAMUJU

PASSAYANG SAYANG
PASSAYANG SAYANG PATUNG2 KAYU
PATUNG2 KAYU PENENUN TRADISIONAL SUTRA MANDAR
Penenun Tradisional Sutra mandar

Kabupaten Mamuju

BENDI ( DOKAR ) HIAS
BENDI ( DOKAR ) HIAS

BUSANA ADAT KALUMPANG MAMUJU
BUSANA ADAT KALUMPANG MAMUJU

  • Pulau Karampuang
Obyek daya tarik wisata bahari  yang telah memiliki sarana pariwisata, berpasir putih, disekitar pulau ini terdapat terumbu karang yang masih alami.
  • Pantai Toangsang
Pantai dengan pesona hamparan pasir putih dan sangat menarik melepas sunset di senja hari.
  • Gunung Paken
Merupakan gugusan kepulauan  dengan pemandangan lautnya  yang  menawan sangat cocok untuk ditempati  berekreasi keluarga.
  • Air terjun Tamasapi
Dilokasi  air terjun  yang memiliki ketinggian  sekitar 70 m, di tempat ini wisatawan dapat menikmati  udara segar  pegunungan  dengan air  yang jernih dan alami.
  • Pureh
Obyek  wisata keagamaan  berupa bangunan  bersejarah ini berpungsi  sebagai tempat  peribadatan  pemeluk agama Hindu.
  • Monumen Ahmad Kirang
Dibangun untuk mengenang jasa seorang putra Manakarra  yang gugur  dalam  peristiwa pembajakan  Pesawat Garuda  Indonesia Airways di Kolombo.
  • Banoa Sibatang
Rumah tradisional khas Kalumpang  yang memiliki kontruksi  dan  bentuk spesifik  sehingga  mempunyai ciri khas tersendiri  yang cukup menarik.
  • Rumah Adat Mamuju Rumah adat ini  terdiri dari beberapa massa bangunan, yaitu : Salassa (rumah Raja) sebagai rumah induk, bandara  raja, pengawal raja, lumbung pangan, pandai besi, pandai  emas, kandang kuda dan kandang rusa.
Kabupaten Majene
Perayaan maulid PERAYAAN MAULID DI MAJENE
      • Pemandian air panas Limboro
PERMANDIAN AIR PANAS
PERMANDIAN ALAM DI POLMAN
Lokasinya berada  di atas  puncak  pegunungan Limboro  dengan udara sejuk, pemandangan alam indah  dengan  tanaman kemiri  dan kakao.
  • Sandeq
Perahu layar tercepat di dunia, perahu ini memiliki  keunikan tersendiri selain digunakan untuk menangkap ikan juga diperlombakan setiap tahunnya untuk menggiatkan wisata bahari. Perahu ini menjadi aset nasional  dan menjadi bagian  dari pengembangan  pariwisata nusantara.
—  Pantai Pasir Putih Rangas
Pantai ini menjorok ke laut tempat pembuatan perahu tradisional sandeq. Pantai ini terletak di kelurahan Totoli, + 5 km dari ibu kota kabupaten Majene.
—  Pantai Dato
Pantai dengan panorama laut yang sangat menarik, disekeliling pantai ini terdapat tebing yang dapat digunakan sebagai tempat climbing.
—  Museum Mandar
Sebagai tempat penyimpanan benda-benda bersejarah.
—  Kompleks Makam Raja dan Anggota Adat
Berada pada ketinggian + 50 meter dari permukaan laut. Para wisatawan dapat menyaksikan keindahan kota Majene dari ketinggian ini.
  • Makam Syech Abdul Mannam
Syekh Abdul Mannan  dikenal  sebagai penyiar  agama Islam pertama di Kabupaten Majene.
Kabupaten  Polewali Mandar
  • Pantai Palippis
Obyek wisata bahari dengan panorama  alam yang indah  dan menarik  sebagai hasil perpaduan  pasir putih, perbukitan , tebing dan goa alam.
  • Pulau Gusung Toraya
Pulau ini seluas 1,5 Ha, memiliki panorama pantai yang indah, hamparan pasir putih yang menawan, cocok untuk berjemur , berenang, memancing, dan rekreasi.
  • Wisata alam Kunyi.
Berupa obyek wisata  air terjun  bertingkat tiga  setinggi 30 m  dengan airnya yang  jernih , bersih dan sejuk , dikelilingi  pepohonan langsat , durian, rambutan dan kopi sebagai lokasi wisata argo.
  • Wisata Agro Kanang
Merupakan perkebunan rakyat  berupa durian , langsat dan rambutan , seluas 400  Ha  yang di dalamnya terdapat sungai-sungai.
  • Bendungan Pengairan Sekka-Sekka
Disamping  dimanfaatkan  untuk pengairan  persawahan juga  menjadi obyek wisata tirta  yang memiliki panorama  alam indah, cocok untuk tempat pemandian , olah raga air, memancing  dan rekreasi, dikelilingi perbukitan  yang dapat dijadikan sebagai obyek wisata buru.
  • Makam  Imanyambungi (Todilaling)
Imanyambungi yang bergelar Todilaling adalah Raja pertama di Kerajaan Balanipa Mandar  pada tahun 1520 M.
  • Makam Syech Al-Ma’ruf
Syech Al-Ma’ruf adalah penyiar agama Islam pada abad ke 16 di kerajaan  Balanipa Mandar, diberi gelar Tosalama  (orang yang dikeramatkan).
Kabupaten Mamasa
PANORAMA ALAM MAMASA
PANORAMA ALAM MAMASA

AIR TERJUN SOLLOKAN MAMASA
AIR TERJUN SOLLOKAN MAMASA

  • Air Terjun Liawan
Terletak di lokasi hutan  yang ditunjang dengan tempat perkemahan. Di sini juga terdapat bangunan-bangunan  tempat bersantai  dan memasak  serta membakar ikan.
  • Air terjun Sallokan  dan Air Panas Malimbong
Terletak di gerbang  wisata Kabupaten Mamasa  dari arah selatan , objek wisata  ini juga sangat cocok untuk tujuan wisata petualang.
  • Air Terjun Sambabo
Air terjun bertingkat tiga dengan ketinggian 300 m.
  • Pemandian Air Panas Kole
Ditempat ini terdapat beberapa kolam air panas alami, air panas ini dapat menyembuhkan berbagai penyakit kulit serta  menyegarkan tubuh.
  • Gunung Mambulilling
Gunung setinggi 2.741 m dari permukaan laut   merupakan  tujuan ideal bagi  pendaki gunung  memiliki panorama pegunungan yang sangat attraktif  untuk melakukan treeking di gunung ini.
  • Panorama Mussa Ballapeu
Disepanjang  perjalanan  menuju  obyek wisata  berketinggian 1.600 m ini, wisatawan  dapat menikmati pemandangan  alam  pegunungan  yang sanagt indah, beberapa bangunan  bersejarah, serta  perkampungan rumah adat tradisional Mamasa.
  • Sesena Padang
Merupakan  tempat ideal  untuk wisata jalan kaki, sambil mengunjungi  sejumlah  perkampungan tradisional.
  • Sarana Akomodasi  Hotel dan Restoran  Mamuju
§  Mamuju Beach Hotel
Jl. K.S Tubun No 54
Tlp. (0426) 22244-45.
§  Marannu  Hotel
Jl. Yos Sudarso No  56
Tlp. ( 0426) 21136
§  Wisma Kencana
Jl. Ahmad Kirang  No 26
Tlp. (0426) 21650
§  Wisma Manakarra
Jl. Emmy Saelan  No 55
Tlp. (0426) 21225
§  Wisma Trendy
Jl. Wahab Azis no 18
(0426) 22518
§  Wisma Srikandy
Jl. Pattalunru No 4
Tlp. (0426) 21766
§  Wisma Rio
Jl. Emmy Saelan No 41
Tlp (0426) 21014
§  Wisma Fajar
Jl. Emmy Saelan No
Tlp (0426) 21084
  • Sarana Restoran di Mamuju
    • Pantai Indah
Jl. Yos Sudarso
(0426) 22066
o   Kios Manis
Jl. Yos Sudarso
(0426) 21558
o   Jawa Indah
Jl. Punggawa Malolo
Tlp (0426) 22266
o   Barokah
Jl. Wahab Azasi
(0426) 22234
o   Jawa Tengah
Jl. Pasar Sentul Mamuju
o   Puncak Ria
Jl. Kelapa
(0426) 21707
Ø  Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Propinsi Sulawesi Barat
Jl. Pattimura No 12 Mamuju
Tlp. (0426) 21244 Fax (0426) 21244
Ø  Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Mamuju
Jl. A. Yani
Telp. (0426) 21737
Ø  Dinas  Pariwisata, Informasi dan Komunikasi Kabupaten Majene
Jl. Gatot Subroto No 45 Majene
Telp. (0422) 21132
Ø  Kantor Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Polewali Mandar
Jl. H. Andi Depu Pekkabata Polman
Telp. (0428) 22185
Ø  Dinas Pariwisata Kabupaten Mamasa
Jl. Patolongan Kota Mamasa
Ø  Dinas Pariwisata Kabupaten Mamuju Utara
Mamuju Utara Pasangkayu

Tari Daerah

Tari Daerah Tari Bamba Manurung, ditujukan sewaktu acara pesta Adat Mamuju yang dihadiri oleh para penghulu adat beserta para tokok adat. Pakaian tari ini disebut baju Badu, dan di hiasi oleh bunga melati beserta kipas sebagai perlengkapan tarinya.
- Tari Bulu Londong, ditujukan pada acara Rambutuka sebagai rasa syukur penduduknya.Pakaian tari ini mengenakan baju adat Mamasa yang berbahan bulu burung.  Perlengkapan tari yang dipakai adalah terompet, pedang atau tombak, sengo, kepala manusia dll.

- Tari patuddu ditujukan dalam acara untuk menyambut para tetamu dari luar maupun dalam negeri. Tarian ini merupakan tarian suku Mandar yang tinggal di Sulawesi Barat.


Tari Patuddu

Jumat, 18 Maret 2016

Imanyambungi (Todilaling) - Raja I Kerajaan Balanipa

Imanyambungi (Todilaling) - Raja I Kerajaan Balanipa

Awal mula berdirinya Kerajaan Balanipa Mandar bermula dari persekutuan ”Appe Banua Kaiyang“ (Empat Rumah Besar) yaitu : Napo, Samasundu, Mosso dan Todang Todang Keempat Banua Kaiyang tersebut sepakat mendirikan Kerajaan Balanipa di Mandar.
Posisi kerajaan Balanipa dalam Pitu Ba`bana Binanga adalah sebagai bapak/ketua dan sekaligus sebagai pemeran pokok dalam sejarah perkembangan kerajaan-kerajaan di Pitu Ba`bana Binanga. Imanyambungi, putra Tomakaka napo sebagai raja pertama.
I Manyambungi berasal dari Napo, semasa kecil beliau sering bersabung ayam dengan sepupunya anak Tomakaka Napo. Suatu ketika I Manyambungi bersama sepupunya tersebut mengadakan adu ayam (sabung ayam) namun ayam I Manyambungi pada saat itu kalah dan akhirnya I Manyambungi membunuh sepupunya karena merasa malu. Karena peristiwa itulah beliau melarikan diri ke Gowa dengan menumpang perahu Makassar atas usulan Pappuangan Mosso di Campalagian.
Setelah sampai di Gowa Ia ditempa menjadi “Juak” anggota militer kerajaan Gowa bahkan pihak kerajaan Gowa pada waktu itu memberi kepercayaan kepadanya untuk memimpin tentara memerangi musuh-musuh kerajaan Gowa. Imanyambungi menjabat sebagai salah seorang panglima Perang (Tobarani) Kerajaan Gowa di zaman pemerintahan Tumaparissi Kalonna (1510-1546).
Kepopuleran I Manyambungi tersebut didengar oleh pemuka-pemuka masyarakat di daerah asalnya (Mandar), diperburuk oleh adanya kekacauan di dalam negeri waktu itu. Kondisi ini dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh pemuka masyarakat Mandar untuk menghadap raja Gowa, meminta agar mengembalikan I Manyambungi ke Tanah kelahirannya (Tanah Mandar).
Kehadiran I Manyambungi sangat diharapkan, memulihkan tanah Mandar dari kekacauan. Kembalinya I Manyambungi dari Perantauan sekaligus merupakan tonggak sejarah baru bagi kerajaan Balanipa.
Keberhasilannya menyelesaikan perselisihan yang terjadi itu, menyebabkan ia dipilih dan diangkat menjadi pemegang kendali kekuasaan pertama di kerjaan Balanipa yang dibentuk dari pesekutuan Empat negeri besar (Appe Banua Kaiyyang) yaitu, Napo, Samasundu, Todang Todang dan Mosso, sekitar abad XV tepatnya tahun 1520 M, waktu itu agama Islam belum masuk di Sulawesi Selatan. Pusat pemerintahan Kerajaan ditetapkan di Napo sebagai Ibukota Kerajaan Balanipa suatu wilayah yang sejak lama dikenal sebagai bandar niaga.
Di bawah pemerintahan Imanyambungi, kerajaan Balanipa Mandar berkembang menjadi besar dan mempelopori persekutuan Kerajaan Pitu Ulunna Salu dan Pitu Ba’bana Binanga yang wilayahnya meliputi daerah Paku sampai Suremana (Wilayah Sulawesi Barat).
I Manyambungi mempersunting seorang gadis anak keluarga raja Gowa yang dari perkawinan itu lahirlah Tomepayung Raja Balanipa kedua. Ketika Imanyambungi mangkat, beliau digantikan oleh putranya Tomepayung.
http://ragamsulawesibarat.blogspot.co.idImanyambungi dimakamkan dengan ritual kerajaan. 40 orang yang setia pada Imanyambungiyang teridiri dari Pattu’du (penari), dayang dayang serta para pengawalnya ikut serta kedalam liang lahat sampai wafat bersamanya. Seluruh persiapan makanan dan peralatan ritual dibawah serta kedalam liang lahat tersebut. Ritual inilah yang menjadikan Imanyambungi memperoleh gelar dengan sebutan TODILALING (orang yang diangkut bersama dengan perlengkapannya). Gelar ini lebih populer dikalangan orang Mandar dibandingkan nama Imanyambungi sendiri.
Makam Todilaling sampai sekarang dapat disaksikan diatas bukit Napo dibawah kerindahan pohon beringin yang menaunginya.
http://ragamsulawesibarat.blogspot.co.id

Mantra Pemikat dari Tanah Mandar

Mantra Pemikat dari Tanah Mandar

ilustrasi

DI satu desa di pedalaman tanah Mandar, Sulawesi Barat, seorang bapak tua mengajariku mantra-mantra pemikat perempuan. Pada usia 20-an tahun, aku lansung merinding. Rasanya tak sabar untuk meninggalkan kampung itu demi langsung mencoba mantra pemikat itu. Berhasilkah?

***

HARI itu, di akhir dasawarsa 1990-an. Aku dan sahabat Muhammad Toha bekerja di satu lembaga penelitian di kampus Universitas Hasanuddin, Makassar. Kami mendapat tugas untuk melakukan riset lapangan selama dua minggu di satu desa terpencil di Kabupaten Pollewali Mamasa, Sulawesi Selatan (kini menjadi bagian dari Sulawesi Barat).

Penelitian itu mengenai pendidikan di daerah-daerah terpencil. Kami hendak mengamati sejauh mana akses warga daerah terpencil untuk mendapatkan pendidikan. Kami mengamati keterbatasan infrastruktur, serta bagaimana dukungan masyarakat terhadap sekolah-sekolah.

Kami memang sengaja memilih daerah yang paling terpencil. Aku masih ingat persis. Desa yang kami datangi terletak di Kecamatan Tutallu. Dari jalan poros Makasaar ke mamuju, kami singgah ke Tinambung. Setelah itu mobil yang kami tumpangi akan belok ke kanan dan melalui tanjakan yang cukup jauh. Pada masa itu, infrastruktur jalan sangatlah buruk. Setelah tiba di Tutallu, kami meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki selama beberapa jam. Semua barang bawaan kami sampirkan pada seekor kuda yang kami sewa.

Desa yang menjadi lokasi penelitian itu sangatlah terpencil. Tak ada listrik. Tak ada fasilitas publik. Penduduknya tinggal terpisah-pisah, namun tak begitu jauh dari sungai. Nah, sungai itu menjadi pusat aktivitas warga. Di situlah warga mandi, mencuci pakaian, sekaligus fasilitas untuk buang air besar. Mulanya, aku ragu-ragu untuk mandi di sungai itu. Tapi setelah melihat beberapa gadis desa ikut mandi, aku pun membiasakan diri. Minimal bisa melirik ke kiri dan ke kanan. Hihihi.

Aku dan Toha menginap di rumah seorang guru sekolah dasar. Bapak itu telah memiliki dua anak. Di rumahnya itu, tinggal pula adik iparnya yang cantik jelita. Sepintas, adik iparnya itu mirip artis ibukota. Saat pertama datang, gadis itu menghidangkan minuman lalu menyilahkanku untuk minum. Ia tertunduk saat itu, namun ketika mengangkat wajahnya, sekilas matanya melirik ke arahku. Darahku langsung berdesir.

Bapak pemilik rumah sempat memberikan beberapa masukan. Ia meminta kami untuk berhati-hati ketika dihidangkan minuman oleh warga. Katanya warga di kampung itu masih banyak yang mengamalkan ilmu sihir. Meskipun tak begitu percaya dengan sihir, aku mengikuti sarannya.

Keesokan harinya, aku mulai menelusuri desa itu demi menuju sekolah terdekat. Selama beberapa hari, observasi dan wawancara di sekolah itu sukses dilaksanakan. Kami lalu bergerak untuk mengumpulkan data ke beberapa warga. Hingga akhirnya, kami mewawancarai seorang bapak yang nampak terpelajar di kampung itu.

Yang menarik, bapak itu menjelaskan tentang banyaknya mantra-mantra dan kesaktian di kampung itu. Ia mengambil kertas-kertas lusuh di kamarnya lalu memperlihatkan sebuah gabar yang menunjuk ke delapan penjuru mata angin. “Ini namanya kutika. Bagi orang mandar, ini berguna untuk melihat hari-hari baik,” katanya.

Ia menunjuk hari-hari baik untuk menanam, serta hari baik untuk melaut. Yang menarik, ada pula hari baik untuk berkelahi dengan seseorang. Katanya, saat pergi menantang orang lain pada hari itu, maka seseorang akan selamat dan tak mendapat celaka.

Kutika dikenal dalam berbagai budaya. Tak hanya Mandar, orang Bugis ataupun Buton juga mengenal konsep kutika. Biasanya kutika selalu dikaitkan dengan perhitungan konsep tentang hari-hari baik. Barangkali, ada semacam pengulangan atas satu kebaikan yang terjadi di masa silam. Pada masa kini, kutika menjadi kompas yang menentukan kapan satu kelompok masyarakat memulai suatu pekerjaan.

Yang jauh lebih menarik adalah ketika bapak itu membuka kertas-kertas lusuh yang katanya berisikan matra-mantra. Pada satu bagian, ia bercerita tentang mantra pemikat perempuan. Jiwa mudaku bergejolak. Aku sangat tertarik. Kubayangkan gadis-gadis manis di kampus. Kubayangkan pula sejumlah wanita yang pernah menolak cintaku. Kali ini, perempuan itu akan bertekuk lutut dan berharap cintaku. Aku tersenyum membayangkan apa yang akan terjadi kelak.

Yang mengherankan, tanpa kuminta, bapak itu bersedia mengajarkan mantra itu secara gratis. Menurutnya, mantra itu sangat efektif. Kita harus meletakkan jari telunjuk di bawah lidah, sembari mengucap mantra. “Kalau sudah baca mantranya, usahakan untuk sentuh gadis itu. Pastilah dia langsung jatuh cinta,” kata bapak itu. Aku langsung berdebar-debar.

Dua hari setelah pertemuan itu, aku meninggalkan lokasi penelitian. Mantra itu telah kuhafal luar kepala. Sepanjang perjalanan ke Makassar, aku memikirkan kepada siapa mantra itu akan kurapal. Kubayangkan si A yang bahenol. Tiba-tiba saja kuurungkan niatku karena kupikir si A tak begitu menarik. Kubayangkan lagi Si B yang lebih seksi. Tak puas, kukhayalkan lagi Si C. Ah, aku jadi bingung hendak ‘menyihir’ siapa.

Setibanya di Makassar, aku tak bisa tidur selama beberapa malam. Gara-gara mantra itu aku tak kunjung bisa tidur. Aku tak tahu apakah akan menggunakan mantra ini ataukah tidak. Namun ada rasa penasaran yang terus menggelayut di hati ini. Apakah mantra ini bisa bekerja? Apakah hari-hariku akan seperti Rano karno ataupun Rhoma Irama yang senantiasa dikelilingi gadis-gadis manis dalam semua filmnya?

Hingga suatu hari, aku menyaksikan kawan perempuan melintas. Tiba-tiba saja ada gejolak kuat untuk menggunakan mantra itu. Jantungku berdegup lebih kencang. Kubayangkan matanya akan dipenuhi simbol cinta, sebagaimana kusaksikan dalam film kartun. Saat ia mendekat, aku segera meletakkan telunjuk ke bawah lidah. Kubaca mantranya, lalu kucolek dirinya.

Kembali, jantungku berdegup lebih kencang saat menanti reaksinya. Sekian detik, ia tiba-tiba menoleh. Aku serasa menyaksikan adegan dalam film Korea yang tiba-tiba saja menjadi slow motion.  Aku seolah tidak menginjak tanah.
http://ragamsulawesibarat.blogspot.co.id

Rabu, 16 Maret 2016

Zaman dan Sejarah Kerajaan di Mandar

Zaman dan Sejarah Kerajaan di Mandar
Oleh: KKBM SULBAR PPNP
Memulai penelusuran sejarah kerajaan pertama di Mandar mungkin bisa mengambil dan membandingkan dengan tatanan kerajaan lainnya. Yang selalu beranjak dari adanya manusia pertama, yang lalu kemudian berlanjut kepada mobilitas dinamis penduduk yang melahirkan arus perpindahan. Perpindahan masyarakat inilah kemudian yang melahirkan arus pendatang ke suatu komunitas mesyarakat tertentu. Kemudian berlanjut pada masa lalu lintas kepentingan dalam masyarakat tertentu. Kemudian berlanjut pada lalu lintas kepentingan dalam masyarakat heterogen. Sehingga terkadang akut memicu komplik dan peperangan diantara mereka. Sebagai konsekwensi logis dari kian memadatnya lalu lintas kepentingan dalam masyarakat pendatang dengan masyarakat yang didatangi. Dari peperangan ini pula kemudian melahirkan para pemimpin atau penguasa kerajaan-kerajaan lokal tersebut. Tetapi tentu pemahaman ini tidak lantas serta merta akan digunakan secara serampangan. Sebab apapun alasannya, penelusurannya tentu didasarkan pada fakta-fakta sejarah yang ada di masyarakat tersebut. Paling tidak melihat apa yang dipahami dan diyakini ada dan terjadi pada komunitas masyarakat yang berdiam diwilayah tersebut.
Di Mandar seperti cerita yang berkembang dan dipahami, termasuk yang ada didalam lontar seperti yang ditulis Ibrahim Abbas (1999) bahwa kerajaan pertama di Mandar muncul secara spontan dari langit (manusia langit-pen). Hal itu menilik pada dikenalnya seorang sosok yang bernama To Manurung di hulu Sungai Sa’dang pada abad ke-12 atau sekitar tahun 1190 M.
Kemudian terjadi peperangan karena adanya komunitas pendatang yang melakukan perlawanan atas mereka. Sampai disini dipahami bahwa cikal bakal kerajaan muncul pada saat itu, dimana To Manurung kemudian menjadi Raja pertama di hulu Sungai Sa’dang.
To Manurung inilah kemudian yang melahirkan seorang putra yang bernama To banua Pong. To Banua Pong kemudian melahirkan lima orang anak yang kemudian tersebar ke beberapa tempat di Sulawesi Selatan. Yang salah satu diantaranya bernama I Pa’darang. I Padarang inilah kemudian melahirkan raja-raja di Bone dan raja-raja di Mandar. Namun seperti yang lalu disahuti oleh A Syaiful Sinrang setelah melihat beberapa lontar menyebutkan bahwa dari Banua Pong lahir seorang anak yang menjadi cikal bakal para pendiri kerajaan di Pitu Ba’bana Binanga dan Pitu Ulunna Salu. Ibrahim Abbas (1999).
Sedang versi lainnya malah menyebutkan bahwa cikal bakal kerajaan muncul lebih duluan yakni pada abad ke 11 M. Dari seseorang yang bernama Pongkapadang yang tak lain adalah anak To Kombong Dibura dan To Bisse Ditallang di hulu Sungai Sa’dang yang menikah dengan Tori Je’ne. dan menjadi pemimpin pertama kerajaan di Tabulahan. Sarman Sahudding (2004).
Sementara itu, Salahuddin Mahmud, seperti yang ditulis Muh. Ridwan Alimuddin (2003), bahwa kerajaan di Mandar telah ada sejak abad ke empat yang lalu dikaitkan dengan momentum berdirinya kerajaan Kuta Kertanegara di Kalimantan Timur. Hal ini dikuatkan oleh adanya pelabuhan yang terdapat di daerah Sikendeng Kalumpang Kabupaten Mamuju. Belum lagi Muara Sungai di Karama di Mamuju yang berseberangan keluar dengan Muara Sungai Mahakam di Kalimantan Timur yang menjadi titik sentral pelayaran sungai menuju Hulu Sungai Mahakam. Namun karena infasi militer dan wabah penyakit kerajaan di Mamuju ini kemudian dipisahkan pindah ke Toraja atau Luwu.
Satu hal yang menarik, utamanya yang ditulis oleh Sarman Sahuddin dan Ibrahim Abbas sama-sama menyakini bahwa kerajaan pertama di Mandar berasal dari Hulu Sungai Sa’dang, sementara yang satunya lagi Muh. Ridwan Alimuddin, justru meyakini bahwa kerajaan pertama dan telah ada jauh sebelumnya, seperti apa yang dikemukakan oleh beberapa penulis lainnya. Dimana menurutnya sejarah kerajaan di Mandar dapat ditelusuri sejak berdirinya kerajaan di Kutai Kertanegara. Hala yang terakhir ini juga didasarkan pada temuan sejarah yang menunjukkan adanya cikal bakal kerajaan Mandar di Mamuju kala itu.
Lebih lanjut Muh. Ridwan Alimuddin menjelaskan, bahwa zaman kerajaan juga dapat ditelusuri sejak zaman Tomakaka, istilah lain bagi raja atau Mara’dia ketika itu. Pada era inilah Mandar kala itu dipimpin oleh seorang Tomakaka. Lalu entah mangkat atau apa, era tomakaka kemudian berakhir, ditandai dengan munculnya ; Tomakaka Tombara; Tomakaka Tombara ‘sendiri adalah pimpinan persekutuan hukum yang timbul dan berdiri sendiri-sendiri dalam komunitas lokal mereka.
Untuk Zaman Tomakaka ini sendiri tidak jelas benar kapan munculnya. Yang ada hanya dugaan bahwa ia ada sebelum zaman Lagaligo. Sedang I Lagaligo sendiri, seperti yang ditulis Leonard Y Andaya (2004), diciptakan di Luwu pada masa Puncak kekuasaannya yakni pada abad-9.
Dalam perkembangan berikutnya, Tomakaka lalu menjadi pemimpin di daerah pesisiran yang melenyap setelah tampilnya Mara’dia atau raja pertama Todilaling. Sementara di wilayah pegunungan Tomakaka tetap ada walau di wilayah pesisiran zaman Tomakaka sendiri telah berakhir. Dalam tatanan administratif, Tomakaka sesungguhnya adalah orang yang dituangkan dalam komunitas lokal, tetapi ia memiliki kedaulatan penuh kedalam dan keluar komunitas lokalnya. Hal yang dapat dijadikan acuan dalam menelusuri zaman tomakaka ini juga adalah apa yang pernah ditulis dalam Bestuurmemorie seorang asisiten Residen Mandar, W. J. Leyds yang menyebutkan, bahwa sebelum jaman Tidilaling telah terdapat banyak kerajaan-kerajaan kecil di Mandar yang untuk itu dikepalai oleh seorang Tomakaka. Seperti Tomakaka yang memimpin di Pasokkorang yang berada di Luyo atau dekat Mambu.
Namun karena mendapatkan penyerbuang dari gunung, maupun dari pesisiran Tomakaka di Pasokkorang ini lalu lenyap, bersamaan dengan hangusnya rumah-rumah penduduk Sarman Sahuddin (2004).
Sementara itu peta dan agenda sejarah perjalanan kerajaan Mandar juga tak boleh luput dari sejarah kerajaan balanipa yang kala itu ditandai dengan hadirnya Todilaling atau dikenal sebagai Tomayambungi sebagai mara’dia pertama. Yang setelah ia kembali dari Goa berupaya mempersatukan negri-negri besar atau lebih dikenal sebagai Appe Banua Kaiyyang (empat kerajaan besar-pen) yang meliputi, Napo, Mosso, Samasundu dan Todang. Masing-masing daerah itu juga dipimpin oleh Mara’dia atau raja yang diketahui oleh Tomayambungi. Dan setelah ia mangkat, lalu digantikan oleh anaknya yang bernama Tomepayung.
Pada perjalanan kepemimpinan Tomepayung ini lalu dikenal sebuah nama Puang Dipoyosang atau Puang Limboro sebagai sosok yang banyak membantu Tomepayung dalam kepemimpinan. Bantuan yang konkret atas kepemimpinan Tomepayung ini ditunjukkan oleh Puang Limboro dengan kemampuannya merampung dan mempersatukan beberapa kerajaan diwilayah Pitu Ba’bana Binanga, seperti kerajaan Sendana, Tappalang, Banggae, Pamboang dan Mamuju. Lalu membuat persekutuan kekerabatan (konfederasi) yang kemudian dikenal dengan Annang Ba’bana Binanga (enam kerajaan pesisir-pen),minus kerajaan Binuang yangdiketahui oleh Tomeyung sebagai Mara’dia Kedua Balanipa (ibit).
Bertitik tolak dari sinila lalu kemudian dikenal adanya perjanjian atau Muktamar Tammajara. Yang dalam banyak catatan menyebutkan, Muktamar atau perjanjian Tamajarra pertama yang dijelaskan pada abad-15 M. Konon perjanjian ini dilatar belakangi oleh keinginan untuk menyerang dan menghancurkan Tomakaka Pasokkorang yang dinilai telah lama mengganggu ketentraman daerah Mandar yang kala itu belum berbentuk Pitu Ba’bana Binanga.
Sahdan pasca Mukatamar atau perjanjian Tammajarra pertama itulah, lalu keempat kerajaan ini menyerang dan memberanggus kerajaan Pasokkorang. Namun Pasokkorang sendiri sempat malarikan diri ke Sawitto (daerah di Kabupaten Pinrang-pen). Lalu digelarlah kembali Muktamar Tamajarra ke dua yang juga digelar di Balanipa dan masih diketua oleh Tomepayung dan sudah dihadiri oleh tujuh kerajaan pesisiran, termasuk Binuang yang absen pada Muktamar Pertama.
Motivasi dari Ikrar Tammajarra kedua ini adalah untuk menguatkan barisan kembali melawan dan menyerang Pasokkorang yang dikhawatirkan akan kembali berjaya setelah kembali dari Sawitto. Pada Muktamar atau perjanjian Tammajarra kedua ini juga lahir rumusan untuk menjadikan Kerajaan Balanipa sebagai bapak dan Kerajaan Sendana sebagai ibu dalam konsep dan tatanan adat. Kendati Balanipa sebagai Bapak dan Sendana sebagai Ibu dalam tatanan adat, namun kerajaan-kerajaan lainnya tetap memiliki otoritas kewilayahan masing-masing, kecuali dalam hal pertahanan dan keamanan. Dari Ikrar Tammajarra kedua ini pulalah terealisir keinginan untuk menyatu dalam sebuah persekutuan Pitu Ba’bana Binanga ini, walau sebelumnya idea dasarnya telah muncul pada saat Ikrar Tammajarra pertama.
Versi lain diseputar sejarah Muktamar Tammajarra ini juga sempat ditulis oleh Ibrahim Abbas (1999) yang menyebutkan bahwa, Ikrar Tammajarra pertama justru terjadi pada zaman Mara’dia Todilalang I Mayambungi atau raja Balanipa pertama dan bertempat di Tamajarra yang juga dihadiri oleh enam kerajaan Mandar di pesisiran pantai, minus Kerajaan Binuang. Hasil dari Ikrar Tammajarra pertama ini kemudian memuat materi kesepakatan untuk mengangkat Balanipa sebagai bapak pada tatnan adat, dan Sendana sebagai Ibu. Yang pengandaiannya adalah, Balanipa berfungsi sebagai penerang atau pelita bagi enam kerajaan tersebut. Sedangkan Sendana sebagai payung atas enam kerajaan tersebut.
Sedang pada Ikrar Tammajarra kedua yang disponsori oleh Todiwesoang (Raja Balanipa ke-4), dihadiri oleh raja-raja dari tujuh kerajaan pesisiran. Termasuk kerajaan Sipajolangi (Raja Binanga I). Adapun ketetapan yang lahir dari Ikrar Tammajarra kedua yang juga telah dihadiri oleh kerajaan Binuang ini adalah, mengenai ketetapan-ketetapan masalah hukum, dimana persoalan di tingkat otoritas kerajaan masing-masing yang tak lagi dapat diretas. Maka yang berhak menyelesaikannya sebagai hakim tingkat pertama adalahibu yakni Sendana. Jika selama tujuh hari tidak juga ditemukan kepastian hukum maka Balanipa-lah sebagai hakim akhir dari persengtaan hukum atau persoalan kemasyarakatan lainnya.
Sementara itu konfederasi tujuh kerajaan di gunung sendiri juga membentuk sebuah persekutuan, atau yang kemudian dikenal sebagai Pitu Ulunna Salu yang menurut sejarah Pitu Ulunna Salu digelar pada akhir abad ke-15 M yang ditetapkan di Talipukki sebagai Lisuan Ada’. Sarman sahudding (2004).
Sementara itu menurut Muh. Ridwan Alimuddin (2003) deklarasi Pitu Ulunna Salu sendiri digagas dan diprakarsai oleh Londong Dehata alias Tomapu’. Muktamar Pitu Ulunna Salu sendiri dihadiri oleh Rantebulahan sebagai Indo Lembang, Aralle sebagai Indo Kadanene’, Indo Lita’ Petaha Mana Pabisa Parandangan, Mambi sebagai Lantang Kadanene’, Tabang sebagai Bubunganna Kadanene’, dan Bambang sebagai Bubunganna Kadanene’.
Sedang menurut, Ibrahim Abbas (1999), musyawarah pembentukan persekutuan Pitu Ulunna Salu digelar di daerah Mambi dihadiri oleh tujuh kerajaan dan menelorkan beberapa kesepakatan seperti, Rantebulahan sebagai ketua persekutuan yang bergelar Indo Lembang, Aralle sebagai Wakil Ketua Persekutuan, Mambi sebagai tempat Permusyawaratan Persekutuan, Sementara Tabang sebagai Bumbunna Sangkadanne,’ Dan Bambang sebagai Dandirinma Sangkadann,’ Matangnga sebagai Tundu’ Masande’na, serta Tu’bi sebagai Tomatuanna Sangkadanene.’
Yang menarik dari sejarah persekutuan kerajaan di Pitu Ulunna Salu tersebut adalah adanya ketidak sepahaman apakah Tu’bi juga adalah bahagian yang masuk kedalam persekutuan tersebut atau tidak. Sebab yang jelas Sarman Sahudding (2004) menulis bahwa, persekutuan Pitu Ulunna Salu terdiri atas, Tabulahan, Rantebulahan, Mambi, Aralle, Matangga, Tabang dan Bambang.
Dalam tulisannya itu ia juga mengakui bahwa memang ada semacam kontroversi sejarah. Tu’bi atau Bambang-kah yang masuk dalam persekutuan tersebut. Versi pertama menyebutkan, Bambang-lah yang masuk dengan alasan penyebaran agama Kristiani di Bambang yang cukup massif. Sedang paham lainnya juga memahami, bahwa justru Tu’bi-lah yang masuk, juga karena alasan agama Islam yang mayoritas di Tu’bi, sedangkan Bambang muncul kemudian disebabkan karena Bambang kemudian dikukuhkan sebagai Su’buan Ada’di Pitu Ulunna Salu.
Dan jika disandingkan dengan konteks ketatanegaraan di kekinian, persekutuan di Pitu Ulunna Salu dapat diterjemahkan sebagai berikut : Tabulahan sebagai eksekutif yang bertugas menangani masalah kesejahteraan, kesehatan, keagamaan dan pendidikan di Pitu Ulunna Salu, Sedangkan Rantebulahan, bertugas sebagai eksekutiv yang berfungsi menangani masalah politik, keagamaan terutama menyangkut perang fisik dan perekonomian. Sementara Mambi, lebih fokus menangani bidang pertanian dalam bidang eksekutiv sedang Mambi dalam bidang legislative bertugas sebagai tempat penyelenggaraan musyawarah adat Pitu Ulunna Salu.
Aralle bertugas sebagai juru penerangan, sebagai diplomator atau pemerintahan adat. Baik ke dalam maupun ke luar. Lebih khusus, menjadi pusat informasi, utamanya kepada Pitu Ba’bana Binanga mengenai hubungan kedua wilayah besar serumpung tersebut. Sedang dalam bidang legeslative Aralle adalah kedua sedang permusyawaratan adat. Matangnga sendiri, berfungsi dalam bidang eksekutiv sebagai benteng pertahanan, khususnya jika persekutuan dalam keadaan genting dan mendesak akan adanya serangan dari luar wilayah persekutuan. Di bidang legislative Matanganga bertanggungj awab atas keamanan dan ketertiban jalannya sidang musyawarah adat jika digelar.
Sedang Tabang bertugas menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan dalam bidang eksekutiv menjaga dan mengamankan hasil-hasil musyawarah dalam bidang legislative. Sementara Bambang bertugas sebagai penghubung dengan semua anggota persekutuan jika akan digelar musyarah adat dan menyimpan serta menjaga kerahasiaan hasil musyawarah adat. Dan yang terakhir Tu’bi memiliki tugas menjaga batas wilayah, sekaligus menjadi penghubung terkhusus kaitannya dengan kepentingan rakyat dua wilayah persekutuan, utamanya dengan Pitu Ba’bana Binanga. (idem).
Hal lain yang juga tak kalah menariknya dari sejarah kerajaan di Mandar adalah, dikenalnya beberapa perjanjian, sebagai salah satu asfek dari sekian banyak asfek sejarah yang menyokong etnis atau suku bangsa yang bernama Mandar ini. Yang untuk itu dapat di baca jejak-jejaknya hingga kini. Artinya adalah ketika terbangun kesepakatan bahwa Mandar adalah sebuah negeri yang besar dan memiliki peradaban yang agung berikiut sejarahnya. Maka andil sejarah beberapa perjanjian dalam menoreh jejak pada tapak-tapak sejarah kerajaan Mandar adalah sebuah keniscayaan yang mutlak dibahasakan. Dari lintas alur logika inilah akan dicoba diurai beberapa perjanjian dan deklarasi yang lalu kemudian menyerah di Tanah Mandar selain sejarah Muktamar Tamamajarra Pertama dan Muktamar Tammajarra Kedua serta deklarasi Pitu Ulunna Salu.
Jika dipilah-pila, maka beberapa perjanjian tersebut seperti dikemukakan oleh Drs. Muis Mandra (2004) adalah; Perjanjian Rantebulahan yang konon terjadi pada abad ke-17 M. Antara kerajaan Rantebulahan dan mewakili Pitu Ulunna Salu dan Balanipa dan mewakili Pitu Ba’bana Binanga. Motif dari perjanjian ini adalah untuk memperkecil perbedaan pendapat guna persatuan dan kesatuan.
Sedang perjanjian berikutnya adalah, Perjanjian Malunda yang juga diklaim terjadi pada abad yang sama dengan Perjanjian Rantebulahan. Perjanjian ini dilangsungkan antara Pitu Ulunna Salu dan Pitu Ba’bana Binanga untuk menetralisi masalah Laikang Tallu dan Lante Samballa di Taang.
Berikutnya adalah, perjanjian Passulurang Bassi di Lakahang yang juga diduga terjadi pada abad ke-17 M yang bertujuan untuk membicarakan tentang masalah orang Pasokkorang sebagai rampasan perang di Mandar dan masalah tiga perempat dari daerah Palili’ Massedan yang menghadap ke Pitu Ulunna Salu dan seperempatnya menghadap ke Pitu Ba’bana Binanga.
Perjanjian lainnya adalah, Perjanjian Sungki’ yang diduga terjadi sekitar abad ke-18 M yang materinya adalah membicarakan tentang status Palili’ Massedan. Sedang perjanjian Damadama’ adalah perjanjian yang berikutnya, dan diduga juga terjadi pada abad yang sama dengan Perjanjian Sungki’ yang materinya juga membicarakan tentang status daerah Paili’ Massedan, utamanya menyangkut hukum yang berlaku di daerah tersebut. Dimana ditetapkan melalui perjanjian ini, bahwa hukum yang digunakan di Palili’ Massedan adalah hukum yang hidup di daerah tersebut.
Perjanjian berikutnya adalah Allamunga Batu di Luyo, sebagai titik sumbu penyeimbang peta geografis kewilayahan Mandar antara persekutuan Pitu Ulunna Salu dan Pitu Ba’bana Binanga yang menurut sejarahnya di motori oleh Raja Balanipa ke dua yang digelar di Luyo. Lalu dikatakan sebagai Allamungan Batu di Luyo, sebab pada perjanjian atau deklarasi ini, kemudian di simbolkan dalam bentuk batu yang ditanam ke dalam tanah di Luyo. Yang kini lalu menjadi simbol sejarah persatuan antara kedua persekutuan di Mandar.
Konon pada perjanjian tersebut juga dihadiri London Dehata alias Tomapu’ dari Pitu Ulunna Salu sedangkan dari Pitu Ba’bana Binanga diwakili oleh Tomepayung sendiri. Perjanjian atau Ikrar Luyo sendiri digelar pada abad ke-18 / 19 M sekaligus menjadi tonggkat diresmikannya nama Mandar untuk perserikatan dua persekutuan tersebut. (ibid).
Sedang Sarman Sahudding (2004), juga menulis bahwa materi kesepakatan atas ikrar atau perjanjian Loyu tersebut adalah pertama, jika anasir musuh datang dari wilayah pegunungan atau pedalaman, maka itu dibawah tanggung jawab Pitu Ulunna Salu sedang jika anasirnya musuh datang dari wilayah pesisiran, maka yang menjadi penanggung jawabanya adalah, Pitu Ba’bana Binanga. Lalu yang kedua adalah, ikrar persatuan dan soliditas antara dua persekutuan tersebut. Dan yang ketiga adalah, pernyataan senasib sepenanggungan diantara kedua persekutuan.
Perjanjian ini pulalah kemudian yang diklaim banyak orang sebagai perjanjian persatuan dua buah persekutuan dan menjadi tonggak sejarah keluhuran dan kebesaran peradaban Mandar. Cukup beralasan memang, mengingat bahwa formalnya penyebutan Nama Mandar konon dimulai sejak adanya perjanjian ini, yang sekaligus menandai menyatunya kedua persekutuan besar antara Pitu Ba’bana Binanga dan Pitu Ulunna Salu ke dalam satu serikat konfederasi.
Bahkan menurut Darwis Hamzah seperti dikutif DR. Edwar L. Poelinggomang, M.A. (2004), menyebutkan bahwa sebutan lain yang tepat atas Perjanjian Luyo ini adalah Sipamandar, yang kurang lebih berarti, saling menguatkan. Belum lagi keyakinan yang menyebutkan bahwa perjanjian Luyo adalah Sipamandar yang kurang lebih berarti, saling menguatkan. Belum lagi keyakinan yang menyebutkan bahwa perjanjian Luyo ini adalah perjanjian yang dianologikan sebagai bola mata yang mustahil dipisahkan antara warna hitam dan warna putih.

http://ragamsulawesibarat.blogspot.co.id 

Zaman Prasejarah

 Zaman Prasejarah
Oleh: KKBM SUL-BAR
Seperti yang ditulis Muh. Ridwan Alimuddin (2003), menjelaskan bahwa, pembahagian yang pertama adalah, zaman prasejarah atau zaman yang meliputi zaman batu tua, zaman batu pertengahan dan zaman batu baru. Yang jika diurai penelusurannya, dapat dimulai sejak, adanya penggalian daerah Sampaga pada bulan Mei 1933 di Lembah Sungai Karama Kabupaten Mamuju yang menemukan beberapa peralatan prasejarah seperti batu dan gerabah. Yang lalu kemudian dilanjutkan dengan dua kali penelitian di tempat yang sama di Bukit Kamassi’ yang menemukan alat-alat seperti pisau, kapak batu, kapak batu segi empat mata panah yang halus, beserta pecah-pecahan tendiker yang berukir.
Penggalian pertamanya sendiri dilakukan oleh PV. Van Callenvels pada tahun 1933 di bagian tikur sedangkan penelitian yang kedua dilakukan oleh Dr. HR. Van Hee Karem 1949 menemukan alat-alat batu, seperti kapak batu, yang ada kemiripannya dengan Neolithic di Luzon (Philipina), Manchuria (Mongolia), Hongkong dan sebagainya. Penelitian yang dilakukan di bagian selatan puncak Magassi’ ini juga ditemukan gerabah berhiasyang dinilai oleh para arkeolog telah menunjukkan keteraturan kebudayaan di daerah Kalumpang Kabupaten Mamuju ini terlingkup dalam satu wilayah Sa-huynh Kalanay, Philipina, Vietnam dan beberapa daerah di kawasan Pasifik.
Hal berikutnya juga pernah dilakukan oleh Dr. FDK Bosch yang mencoba membandingkan hasil temuan Amiruddin Maula salah seorang tokoh pendidik di Kabupaten Majene yang menemukan Patung dan dibandingkannya dengan patung Budha dari Solok Sumatera Barat, Kotabangun Jambi, Kalimantan Barat, Gunung Lawu, Jawa Tengah, kesimpulannya, tidak ada satupun kemiripan atasnya. Dan setelah dibandingkan dengan patung budha yang ada di India, Muka dan Gandhara, kesimpulannya kemudian bahwa patung tersebut dipengaruhi oleh gay dan kemiripan dengan Budha Greeco yang ada di India Selatan yang beraliran kesenian Amarawati yang juga sangat besar pengaruhnya di kawasan Asia Tenggara pada abad ke-2 dan 7 Masehi. (ibid).
Dari sini kemudian dapat diterjemahkan bahwa keberadaan Manusia pertama di Mandar sesungguhnya telah lama ada. Hal itu dikuatkan oleh hitungan abad yang menjadi dasar dan pertimbangan atas temuan-temuan tersebut diatas. Yang kemudian diperkuat lagi oleh hasil penelitan yang konon pernah dilakukan HR Van Heekern bahwa kapak-kapak pembias yang ditemukan di Indonesia ada kemiripan dengan yang ditemukan di Yunan dan Tongkin (Tiongkok Selatan). Hal ini menguatkan pemahaman dan lalu melahirkan kesimpulan bahwa, orang-orang Austronesia sesungguhnya berasal dari Yunan dan Tongkin dan masuk ke Indonesia sejak 1000 tahun yang lalu. (ibid).
Beranjak dari pengertian diatas ini, hal yang juga mungkin ada baiknya jika di ungkap adalah, tentang pandangan lain yang menjelaskan bahwa orang Sulawesi Selatan-termasuk Mandar-pada umumnya berasal dari ras Mongoloid yang masuk melalui jalur Philipina, lalu menyeberang ke Sulawesi dengan jalan menyusuri Selat Makassar dan merapat di pesisiran Barat Pulau Sulawesi. Konon seperti dikisahkan pula bahwa, kedatangan mereka pertama kali secara berkelompok dan bertahap. Awalnya tinggal dan berdiam didaratan dekat pesisiran, lalu dengan perlahan mereka lalu masuk gunung dan tinggal di gua-gua, hidup berburu dan mengembara di hutan-hutan. Ibrahim Abbas (1999).

Mandar seperti halnya komunitas tradisoinal dan klasik lainnya yang juga mengalami kekaburan mata rantai sejarahnya, kalau tidak kasar disebut sebagai keterputusan pintalan sejarah. Hal mana lebih di akibatkan oleh adanya kepercayaan bahwa kelahiran manusia pertama di Mandar lahir dan turun secara sporadis dari khayangan atau turun dari langit (manusia langit-pen), seperti di beberapa daerah lainnya di Indonesia. Hal itu ditandai dengan adanya To Manurung yang konon adalah manusia pertama di Mandar. Lahir dari belahan bambu atau yang lebih dikenal dengan To Wisse di Tallang. Atau yang lahir dan miniti dari atas buih air laut yang dikenal dengan To Kombong di Bura atau yang terbuang dari perut ikan hiu yang dikenal dengan Tonisesse di Tingalor. Hal ini tentu sulit untuk dapat dipertanggung jawabkan secara ilmia. Namun itulah realitas kesejarahan yang lalu melegenda dan di yakini adanya oleh sebagian besar masyarakat Mandar, dan Konon termaktub dalam lontar (naskah lokal-pen). Lebih jauh dari itu, To Manurung inilah kemudian yang juga di yakini menjadi cikal keturunan manusia pertama dan penguasa pertama di Tanah Mandar.
Sampai di sini juga ada pemahaman, masih mengutip lontar Mandar, bahwa sekitar tahun 1190 M atau abad 12 muncul sepasang manusia yang kemudian bergelar To Manurung di hulu Sungai Sa’ dang. Namun karena terjadi peperangan antara komunitas masyarakat pendatang dan komunitas masyarakat asli yang membuat salah satu komunitas masyarakat itu kemudian terdesat itu.
Namun versi lain juga ada yang menyebutkan bahwa awal muasal manusia Mandar adalah Pongkapadang yang merupakan turunan dari Tobisse di Tallang dan Tokombong di Bura yang lalu melahirkan 7 anak di hulu Sungai Sa’ dang yang kemudian menyebar di berbagai daerah di Sulawesi Selatan. Salah satu diantara adalah Pongkapadang yang kemudian menurut penuturan sejarah memilih berdiam di Tabulahan dan menikahi seorang gadis yang kemudian dikenal bernama Torije’ne. Kedua pasangan ini kemudian beranak pinak yang kemudian di percaya menjadi pemimpin di beberapa kerajaan di Mandar. Sekitar abad ke-11 M. Sarman Sahudding (2004).
Belum lagi apa yang disebutkan oleh DR. Edward L. Poelinggomang, M.A. (2004), yang menuliskan bahwa manusia pertama Mandar, seperti yang ada dalam Lontar seperti yang dikutip Salahhuddin Mahmud (1984) adalah, mendarat dan menetap di daerah hulu Sungai Sadang. Keterangan ini menurutnya DR. Edwar L. Poelinggomang, M.A. dapat diterjemahkan bahwa, pemungkiman di daerah ini telah terjadi jauh sebelum terjadinya penurunan permukaan laut (masa glasial). Lalu kemudian karena bencana alam, wabah penyakit, persoalan adat dan sistem kekuasaan yang membuat mereka berpindah dan membuat pemukiman baru.
Disamping itu, mengenai manusia pertama Mandar seakan telah pula ada kesepakatan bahwa manusia pertama itu adalah Tomanurung, dimana diterjemahkan sebagai tokoh pemula pemukiman yang kemudian tersebar kebeberapa daerah. (ibid).
Dari uraian diatas, jelas menunjukkan kesipangsiuran sejarah yang sungguh akan membingungkan. Namun tetap mesti dicatat, sebab penyaksian atas kejadian-kejadian yang terjadi dan diyakini adalah realitas kesejarahan yang juga bertumpuk pada alasan-alasan historis yang memang susah di tampik. Kendati memang, setiap orang yang akan melakukan pendalaman atas zaman prasejarah di Mandar akan mengalami kesulitan-kesulitan, bahkan kebuntuan.
Utamanya diakibatkan belum adanya kesepakatan antara peneliti dan para pelaku sejarah dan kebudayaan yang koncern terhadap Mandar atas zaman dan periodisasi prasejah di Mandar. Sementara satu sisi realitas-realitas pemahaman historis tersebut tetap hidup berkembang hingga kini di masyarakatnya.
Maka menarik apa yang diungkap oleh Mundarjito (1982) bahwa tidak semua pikiran manusia dapat diwujudkan kedalam tingka laku lahiriah. Sama seperti bahwa, tidak semua bahwa hasil budaya (sebagai fossilized behavior) mencerminkan mental template (deetz) dari seluruh pikiran dan tingkah laku manusia yang sanggup terekam dalam wujud benda budaya. Yang ada hanyalah sebagian kecil saja, dari sekian banyak benda budaya yang dapat selamat hingga kini. Sebagian besar rusak, sebagian besar hilang. Sedangkan sebagian besar lainnya masih berada di tanah dan dalam air.
Bahkan lebih jauh Rathje dan Schiffer, (1980) menyebutkan kendati benda bertulisan, yang itupun kalau diketemukan, telah memuat pikiran manusia dan masyarakat. Tetapi tidak lantas dapat dikatakan telah menjangkau semua asfek kehidupan semua golongan masyarakat masa lalu. Sebab bisa saja ada belum tentu mengandung kebenaran sepenuhnya. Hal ini dikarenakan kemungkinan adanya bias dari penulis masa lalu atau peneliti masa kini. Dari pandangan ini dapat disimpulkan bahwa kian abstrak sasaran studi, maka akan kian menajam pula metodologi yang mesti digunakan. Atau makin jauh masa-masa yang ingin dipelajari, maka makin sukar pula mengurangi kesenjangan-kesenjangan di dalamnya.

SEJARAH MANDAR

SEJARAH MANDAR

Diposkan oleh KKBM SUL-BAR PPNP                                                                                                                                                                                                                                                                                              
 Dari Sini Latar Budaya Itu Dimulai
Kebudayaan dan sejarah adalah dua hal yang tidak mungkin dipisahkan secara absolut. Artinya, ketika pengkajian kebudayaan mencoba menarik garis demarkasi dengan sejarahnya hampir bisa dipastikan yang bakal ditemui adalah kegamangan kebudayaan.
Kebudayaan apa saja dibelahan bumi ini selalunya dicatat oleh sejarah. Disitu sejarah dengan setia akan menungguinyadan mencatatkan setiap jengkal perubahan, pergeseran, bahkan pergesekan yang ditimbulkan oleh kebudayaan berukut manusia sebagai pelaku kebudayaannya. Kebudayaan sebagai gejala, kebudayaan setua sejarah manusia sendiri, yakni manusia sebagai makhluk individual dan sekaligus sosial. Disini kebudayaan dapat dimaknai sebagai pengejawantahan akan proses pengukuhan pergeseran dan perkembangan kemanusiaan. Dan kenyataan kehidupanlah yang lalu kemudian menjadi konsep kebudayaan. Fuad Hasan (1989).
Dalam pemahannya seringkali kebudayaan dimaknai sebagai hasil cipta, karsa dan krya manusia. Yang lalu oleh sejarah dicatatkan apa yang dihasilkan oleh manusia itu sebagai                                                                                                                                                                                      kebudayaan.
Ketika kacamata analisis akan diarahkan pada pengamatan atas realitas kebudayaan suatu ranah budaya, sudah hampir pasti ia tak mungkin meninggalkan akar sejarah peradabannya. Berangkat dari asumsi ini, maka kiranya tidaklah salah jika diterjemahkan, bahwa memahami sejarah dan kebudayaan tidak mungkin abai kepada realitas empiris sejarah peradaban sebuah ranah budaya. Tempat berdiamnya sebuah komunitas kemasyarakatan. Tak pelak upaya yang sama juga tampaknya harus dimulai, ketika, akan coba dikaji perihal Mandar dan kebudayaannya. Salah satu syarat utamanya adalah, mesti beranjak dari asal muasal, agenda pertumbuhan dan perkembangan kebudayaannya. Hingga kepada letak geografis kewilayahannya dan lain sebagainya yang berkaitan langsung dengan nilai-nilai yang dipahami sebagai konsep kebudayaan. Mandar sebagai sebuah entitas yang memiliki keluhuran budayanya, adalah salah satu contoh kongkret yang amatlah menarik untuk di kaji secara mendalam. Utamanya dalam kaitannya dengan realitas nilai yang terus berkembang dan dinamis bersamaan dengan pergeseran waktu dan perubahan ruang. Jika menilik periodisasi Kebudayaan Mandar, maka ada baiknya ditoleh apa yang pernah ditulis oleh Leonard Y Andaya (2004),
Di Sulawesi Selatan ada empat suku besar yakni, Makassar, Bugis, Toraja dan Mandar. Dimana bugis mendiami seluruh bagian timur dan separuh bagian barat dari semenanjung Sulawesi Selatan, Makassar mendiami bagian barat dan selatan sedangkan Toraja Sa’dan kebanyakan mendiami wilayah pegunungan utara berbatas dengan Bugis. Sementara Mandar menempati wilayah pesisiran dan pegunungan atau pedalaman di bagian barat daya. Khusus untuk Mandar terdiri atas dua pembahagian, yakni, Pitu Ulunna Salu (tujuh kerajaan digunung atau di pedalaman­- pen), mereka ini secara etnis adlah orang Toraja. Dan mereka yang tinggal dipesisiran yang berqada dibawah sebuah konferedasi, Pitu Ba’bana Binanga (tujuh kerajaan di pesisiran- pen).
Mandar, jika dikaji peradabannya, utamany dalam konteks nilai dan alegori budayanya. Sudah hampir pasti, mesti diawali dan dimulai dari pemahaman dasar atas ranah pijakan sejarah yang melatarinya, seperti yang telah dijelaskan diatas tadi.
Dari segi kebahasaan penamaan akan Mandar sendiri masih terjadi kesimpang siuran. Hal ini mudah di pahami, mengingat minimnya simbol budaya Mansar yang dapat dengan gamblang menjelaskan penggunaan label kata Mandar pada manusia yang berdiam di pesisiran dan pedalaman bagian barat sebelah utara Sulawesi Selatan ini. Atau yang kini disebut sebagai Wilayah Sulawesi Barat pasca pemekaran provinsi.
Namun untuk mempermudah pemahaman akan label penanaman Mandar itu sendiri dapat ditelisik perkosakata seperti, dharaman, manda’ dan meandar. Sebahagian pendapat mengatakan bahwa kosakata Mandar sendiri berasal dari bahasa Hindu yang terdiri dari dua kata man dan dhar yang jika digabungkan akan berbunyi dharaman yang berarti mempunyai penduduk. Yang lalu kemudian mengalami perubahan, hingga menjadi Mandar. Ibrahim Abbas (1999).
Sementara itu Mandar sendiri dapat menunjukkan aliran sungai yang dikenal dengan Sungai Mandar. Berhulu Ulu Manda’ di bahagian pegunungan Kecamatan Malunda Kabupaten Majene, dan bermuara membelah kota kecil Tinambung di Kecamatan Tinambung Kabupaten Polmas. Sehingga kini tidak jarang, ketika seseorang mau melakukan perjalanan ke Tinambung sebutan yang keluar dari bibirnya adalah ia hendak ke Mandar, yang artinya ke Tinambung yang untuk penggunaan istilah penamaan ini, tidak jelas benar, entah sejak kapan dimulai penyebutannya.
Hal yang mirp, juga pernah diungkap oleh DR. Edwar L. Poelinggomang, MA. (2004)yang menyebutkan, bahwa interfretasi tentang pengadopsian kata Mandar yang berarti sungai tersebut adalah cukuplah beralasan. Karena penamaan persekutuan Pitu Ba’bana Binanga dan Pitu Ulunna Salu sendiri telah menggunakan keterangan sungai, yakni Salu dan Binanga yang keduanya jika diterjemahkan dalam bahasa Mandar bermakna sungai. Hal ini lalu diperkuat lagi oleh adanya penggunaan suku kata di daerah Balanipa yang jika menyebutkan sungai, selalu menggunakan kata Mandar.
Menurut Drs. Darwis Hamzah, seperti yang kutip Ibrahim Abbas (1999), Mandar berasal dari bahasa Ulu Salu daerah pegunungan, yang berarti manda’ yang sama dengan makassa’ atau masse’ yang berarti kuat. Disamping penamaan tersebut diatas, hal yang dapat dijadikan bahan pertimbangan adanya kata-kata dalam bahasa Mandar yang hampir mirip dan relatif memiliki kesamaan bunyi dengan kata Mandar. Seperti meandar yang berarti mengantar dan mandarra yang dapat berarti memukul dan mendera atau sipamandar yang berarti saling menguatkan.
Sipamandar sendiri, yang berarti saling menguatkan dapat dikaitkan dengan adanya penyatuan tujuh kerajaan pantai dan tujuh kerajaan dipegnungan atau Pitu Ulunna Salu dan Pitu Ba’bana Binanga pada abad ke-16. Muh. Ridwan Alimuddin (2003).
Namun lain halnya klaim yang dikemukakan A. Syaiful Sinrang (1980), yang menyebutkan bahwa Mandar juga dapat diterjemahkan sebagai bercahaya mandara’na dan pandara’na di Ulu Manda’ di Kecamatan Malunda Kabupaten Majene. Atau ngmandara dan mandarang yang dapat diterjemahkan sebagai memanaskan dengan api.
Tetapi pada akhirnya dari mana dan apapun asal kata Mandar, hingga kini belum ada yang dapat dengan gamblang menyimpulkannya. Sebab yang pasti, Mandar adalah sebuah suku bangsa yang ada di Indonesia yang berada di Sulawesi Barat (pasca pemekaran propinsi Sulsel-pen) dan berdiam di dua wilayah yakni pesisiran dan pegunungan atau pedalaman dan berada di bagian barat Pulau Sulawesi atau pesisir utara Propinsi Sulawesi Selatan. Terdiri atas beberapa kabupaten yakni, Polmas, Majene dan Mamuju (Plus Mamasa dan Mamuju Utara Pasca Pemekaran-pen). Dan hingga kini Mandar yang diterjemahkan sebagai Sungai Mandar yang hinggakini mengalir dan bermuara membelah Kota Tinambung di Kecamatan Tinambung.
Lalu pertanyaan berikutnya adalah, dari mana pula asal muasal sejarah dan beradaban manusia Mandar. Untuk menjawabnyamungkin ada baiknya jika dimulai dengan mencoba melakukan pengklasifikasian atas zaman dan era peradaban manusia. Khusus untuk Mandar dan sejarah peradabannya dapat dibagi atas dua kategori dasar pembahagiaan. Atau yang lebih lazim dikenal sebagai periodisasi sejarah. Yang pertama adalah, zaman prasejarah dan zaman sejarah. Zaman prasejarah sendiri didasarkan pada uraian yang mencoba menguntai sejarah peradaban suatu masyarakat yang mendiami suatu wilayah, dimana komonitas masyarakat tersebut belum meluk huruf atau tulisan.
Hal yang juga menjadi pertimbangan dari prasejarah sebagai pilihan periodisasi ini adalah, pada era prasejarah-lah, peradaban dianggap sebagai masa pembentukan kebudayaan asli Indonesia. Ayatroehadi (1986).
Yang tentu dasar pengkajiannya adalah didasarkan pada simbol dan ikon-ikon kebudayaan atau benda-benda bersejarah yang dihasilkan, berikut redeksi masa pembuatan dari benda-benda bersejarah tersebut. Dasra pembagian berikutnya adalah zaman pasca prasejarah atau yang acap dikenal dengan zaman sejarah. Dimana pada zaman ini huruf atau tulisan sudah mulai dikenal.
Sehingga model dan dasar pengkajiannya didasarkan pada bukti-bukti tertulis yang ada setelah sejarah itu mulai mencatatkannya. Untuk zaman sejarah atau setelah prasejarah di Mandar ini dapat didasarkan pada dua kategorisasi pembagian yakni; Zaman Kerajaan dan yang terakhir adalah Zaman Masuknya Islam di Mandar.