Wacana mengenai sejarah kerajaan di Mandar pada umumnya
dimulai dari terbentuknya kerajaan Balanipa pada pertengahan abad ke-16,
sekalipun terdapat suatu kerajaan besar yang menonjol sebelumnya yaitu Kerajaan
Passokkorang (di Mapilli, Polman) dan Kerajaan Baras (di Pasangkayu, Mamuju
Utara) (Idham dan Saprillah, 2010).
Sejak abad XVI di daerah Mandar terdapat 14 (empat belas)
kerajaan, tujuh kerajaan yang bersatu dalam suatu organisasi ketatanegaraan
berbentuk federasi yang dinamakan "Pitu Ba'bana Binaga". C. Van. Vollenhoven
dalam Baharuddin Lopa (1982) menamakannya "den zevenbond Mandar". Kemudian
untuk kepentingan strategi, ketujuh kerajaan yang terletak di pantai itu
mengadakan lagi perserikatan yang lebih longgar yang mirip dengan bentuk
konfederasi dengan tujuh kerajaan lainnya yang terletak di daerah pegunungan,
yang satu sama lainnya terikat juga dalam satu federasi yang dinamakan "Pitu
Ulunna Salu". Dengan persekutuan dua kelompok kerajaan-kerajaan itu
dinamakanlah perserikatan "Pitu Ba'bana Binanga - Pitu Ulunna Salu".
Pitu Ba'bana Binanga arti harfiahnya adalah: Pitu artinya
tujuh; Ba'bana artinya muara; Binanga artinya sungai; Pitu Ba'bana Binanga
artinya tujuh muara sungai, maksudnya adalah tujuh kerajaan di bagian pesisir
pantai daerah Mandar. Pitu Ulunna Salu, arti harfiahnya adalah: Pitu artinya tujuh;
ulunna artinya hulu; Salu artinya sungai. Jadi Pitu Ulunna Salu artinya tujuh
hulu sungai, maksudnya tujuh kerajaan di bagian pegunungan daerah Mandar.
Pembentukan perserikatan Pitu Ba'bana Binanga dan Pitu
Ulunna Salu dipelopori oleh seorang raja yang bernama To Mepayung dari
kerajaan Balanipa. Mula-mula beliau mempersekutukan kerajaan-kerajaan yang
terletak di pantai (muara) dalam bentuk muktamar kerajaan-kerajaan yang
melahirkan federasi Pitu Ba'bana Binanga. Tempat diadakannya muktamar itu ialah
di suatu tempat yang dinamakan Tamajarra. Selanjutnya muktamar itu dinamakan
Muktamar Tamajarra.
Adapun yang hadir dalam Muktamar Tamajarra dari Pitu Ba'bana
Binanga adalah: Kerajaan Balanipa, kerajaan Sendana, kerajaan Banggae, kerajaan
Pamboang, kerajaan Tappalang, kerajaan Mamuju, dan kerajaan Binuang (belum
sempat hadir pada saat itu). Sedangkan dari Pitu Ulunna Salu adalah: Kerajaan
Rantebulahan, kerajaan Aralle, kerajaan Mambi, kerajaan Bambang, kerajaan
Messawa, kerajaan Tabulahan, dan kerajaan Matangnga.
Kerajaan Pitu Ba'ba Binanga adalah tujuh kerajaan di Mandar
yang berada dan masing-masing berpusat di tujuh muara sungai atau di wilayah
pantai. Ketujuh kerajaan tersebut adalah: (1) Kerajaan Balanipa; (2) Kerajaan
Banggae; (3) Kerajaan Pamboang; (4) Kerajaan Sendana; (5) Kerajaan Tapalang;
(6) Kerajaan Mamuju; (7) Kerajaan Binuang
Selain ketujuh kerajaan ini, masih banyak kerajaan-kerajaan
kecil lainnya, namun ketujuh kerajaan inilah yang dianggap cukup besar dan
memiliki "pengaruh" keseluruh wilayah di Mandar, bahkan hingga keluar wilayah
Mandar. Kerajaan-kerajaan ini pula yang eksis hingga zaman kemerdekaan dan
menjadi sumber inspirasi dan rujukan bagi pemerintahan Belanda dalam membentuk
struktur pemerintahan hingga pasca proklamasi kemerdekaan RI. Selain itu,
kerajaan-kerajaan ini pula yang mewariskan berbagai nilai kesejarahan yang
hingga saat ini masih dipatuhi sebagai nilai budaya yang tetap menjadi pemandu
atau rujukan dalam kehidupan politik, sosial dan kemasyarakatan dari seluruh
rakyat di Mandar. Pada pemerintahan raja sesudah Todilaling (diduga pada zaman
raja Balanipa ke-4), syarat-syarat untuk menjadi raja atau anggota adat harus
dipilih secara ketat karena tanggung jawab dan tugasnya begitu berat. Masa
jabatan tidak dibatasi tetapi kalau melakukan kesalahan atau tidak mampu
menjalankan tugasnya, maka rakyat akan menurunkannya dari jabatannya. Prinsip-prinsip
yang dipedomani dicerminkan oleh ungkapan:
Naiya
mara'dia tammatindo di bongi, tarrare di allo, mappikkirri:
-
di mamatanna daung ayu
-
di malimbonna rura
-
di madinginna lita'
-
di ajarianna banne tau, anna
-
di atepuanna agama.
Artinya (terjemah bebas oleh penulis):
Seorang
raja tidak boleh tidur nyenyak di waktu malam, tidak boleh berdiam diri di
waktu siang, tetapi ia harus senantiasa memperhatikan:
-
Hijau suburnya daun-daunan;
-
Dalam dangkalnya tebat/tambak;
-
Aman dan damainya masyarakat / negara
-
Berkembang biaknya manusia/penduduk
-
Mantapnya kehidupan beragama.
Syarat yang ketat untuk menjadi raja ini mewariskan suatu
nilai tentang prinsip-prinsip kepemimpinan yang harus mendahulukan kepentingan
rakyat terutama yang berkaitan dengan kehidupan ekonomi, sosial kemasyarakatan,
keamanan dan ketertiban masyarakat. Nilai kepemimpinan ini mulai meletakkan
dasar-dasar kehidupan beragama karena seperti diketahui Raja Balanipa Pertama,
Daengta adalah raja yang pertama kali memeluk Islam.
Setelah dilaksanakannya muktamar Tammejarra I, maka di bagian
pegunungan daerah Mandar terbentuk juga persekutuan tujuh buah kerajaan yang
bernama Pitu Ulunna Salu. Atas inisiatif Tomepayung (raja Balanipa II) diadakan
perjanjian antara kerajaan-kerajaan Pitu Ba'bana Binanga dengan
kerajaan-kerajaan Pitu Ulunna Salu, yang mengandung permufakatan bekerjasama
dalam pertahanan dan keamanan. Pertemuan mengadakan perjanjian tersebut
bertempat di Luyo yang menghasilkan ikrar yang dinamai Allamungan Batu di Luyo
(perjanjian Luyo).
Persekutuan antar wilayah dalam PUS ini berdasarkan pada
prinsip egalitarianisme, kesederajatan dan persaudaraan. Itu berarti tak ada
satu wilayah yang menguasai wilayah lainnya, setiap wilayah memiliki derajat
yang sama, dan karena itu tidak ada pemimpin tunggal. Hal yang membedakan
adalah tugas dan fungsi masing-masing wilayah. Fungsi dan peran masing-masing
wilayah dalam kesatuan PUS adalah sebagai berikut: (1) Tabulahan; (2) Rante
Bulahan; (3) Mambi; (4) Aralle; (5) Matangnga; (6) Tabang; (7) Bambang
Setelah pitu ulunna salu terbentuk di daerah pegunungan, ada
beberapa daerah yang mempertanyakan posisinya dalam federasi kerajaan-kerajaan
tersebut. Untuk mengakomodir mereka, dibentuklah apa yang disebut karua
tiparitti'na uhai (Mandadung, 2006). Karua tiparitti'na uhai artinya delapan
tetesan air. Maksudnya delapan wilayah anak sungai dari tujuh kerajaan hulu
sungai. Adapun daerah yang termasuk dalam karua tiparitti'na uhai adalah:
1.
Mamasa bergelar Rambusaratu'
(tempat memasak)
2.
Osango bergelar tokerang sepu
3.
Mala'bo' bergelar Tandu kalua'
talasan maroso' (keamanan)
4.
Messawa bergelar Talinga rara'na
Ulu Salu (inteligent)
5.
Lakkese bergelar kulambu sura'
(penyimpanan dokumen)
6.
Tu'bi bergelar Karihatana Ulunna
Salu (pondasi atau tanggul)
7.
Taramanu' bergelar Tutu' ba'bana
ulunna salu (daun pintu)
8.
Ulumanda' bergelar sulluran
bassinna ulu salu (pintu besi).
Secara politis, posisi Karua Tiparitti'na Uhai adalah sebagai
penyokong atau penyangga Pitu Ulunna Salu. Dengan demikian, Karua Tiparitti'na
Uhai merupakan bagian yang integral dengan Pitu Ulunna Salu. Hanya saja pada
zaman Belanda, posisi persekutuan wilayah Karua Tiparitti'na Uhai mendapatkan
posisi yang baik sehingga menjadi sederajat dengan PUS. Bahkan Mamasa, salah
satu anggota Karua Tiparitti'na Uhai menjadi pusat pemerintahan (Idham, 2009).
Palili adalah kerajaan-kerajaan kecil yang berada di
perbatasan antara PUS dengan PBB. Hukum adat yang dipakai di daerah Palili
adalah hukum yang yang dipengaruhi oleh hukum PUS dan PBB. Pengaruh hukum
tersebut kekuatannya ditentukan oleh posisinya, bila ia dekat dengan PUS maka
yang lebih dominan adalah hukum yang di pakai di PUS, demikian sebaliknya bila
ia berdekatan dengan PBB maka yang dominan adalah hukum yang dipakai di PBB
(Idham, 2009).
Palili ini merupakan delapan kerajaan kecil yang otonom di
daerahnya masing-masing. Karena jumlahnya delapan maka biasa juga disebut
Palili Arua. Adapun kedelapan kerajaan tersebut, adalah: (1) Batu; (2) Tapango;
(3) Sabura; (4) Kurra; (5) Dakka; (6) Mapilli; (7) Rappang; (8) Andau
Sejak kekalahan kerajaan Gowa (1667), Belanda sangat
berambisi untuk menguasai secara de facto seluruh kerajaan di pulau Sulawesi
termasuk kerajaan-kerajaan di Mandar. Melalui diplomasi, Belanda mengirim
delegasi dari kerajaan Bone yang intinya mengajak upaya damai dan tidak usah
saling berperang lagi. Tetapi raja Balanipa Tomatindo di Langgana tidak
menerima ajakan itu. Peristiwa ini dimanfaatkan dengan baik oleh Belanda untuk
menyerang kerajaan di Mandar dengan memanfaatkan tentara kerajaan Bone.
Maka sekitar tahun 1669, Mandar diserang oleh Belanda dibantu
oleh tentara kerajaan Bone. Dalam pertempuran ini tampillah Daeng Rioso salah
seorang bangsawan kerajaan Balanipa memimpin langsung pertempuran. Daeng Rioso
tampil setelah kerajaan Balanipa sudah hampir kalah dan setelah Raja Balanipa
Tomatindo di Langgana menawarkan kepada siapa saja "Ana' Pattola Payung" yang
bisa menyelamatkan kerajaan dan nantinya sekaligus berhak menggantikannya.
Pada tahun 1916, Belanda memposisikan Kerajaan Pitu Ba'ba
Binanga dan Pitu Ulunna Salu sebagai salah satu afdeling dari sebelas afdeling
dari dua kresidenan di Celebes yakni Kresidenan Celebes Utara dan Kresidenan
Celebes Selatan. Dengan wilayah yang meliputi 14 kerajaan, afdeling tersebut
diberi nama afdeling Mandar yang menunjukkan bahwa:
Mandar berarti wilayah yang meliputi 14 perserikatan
kerajaan:
1.
Mandar diakui sebagai suatu
wilayah pemerintahan yang memiliki nilai sejarah dan budaya yang berakar pada
keempat belas kerajaan, sehingga nama Mandar dapat diterima oleh semua
kerajaan;
2.
Afdeling Mandar setara dengan
beberapa afdeling lain di Celebes misalnya afdeling Buton yang kemudian menjadi
satu Provinsi (Sulawesi Tenggara);
3.
Mandar adalah suatu wilayah
strategis di Celebes, khususnya jika dilihat dalam perspektif ekonomi dan
pemerintahan (KAPP Sulbar, 1998).
Bagi raja-raja dan rakyat di Mandar, pemerintahan afdeling
Mandar adalah proses yang dianggap realistis setelah semua daya dan kekuatan
untuk melakukan perlawanan ternyata mengalami kegagalan.
Sampai Belanda
dikalahkan oleh Jepang pada tahun 1942, tidak ada lagi pemberontakan yang
berarti kecuali perjuangan yang bersifat politik. Dari sejumlah
organisasi-organisasi politik yang cukup berpengaruh yakni Syarikat Islam yang
dikampanyekan di Mandar pertama kali pada tahun 1914, dan Partai Nasional
Indonesia, kader-kader kedua partai inilah kemudian menjadi motivator
perjuangan di era perjuangan fisik. Adapun organisasi Muhammadiyah baru
berkiprah pada menjelang tentara Jepang datang dan lebih banyak menyelenggarakan
kegiatan pendidikan.
Zaman pendudukan Jepang yang relatif singkat (1942-1945)
rupanya tidak memberi kesempatan bagi Jepang untuk melakukan
perobahan-perobahan mendasar dibidang pemerintahan. Selama itu, kekuasaan dan
peran raja-raja dipertahankan sedangkan kegiatan Jepang lebih banyak terfokus
kepada pembinaan sumber daya militer. Seperti halnya di tempat lain di
Indonesia, milisi dan pendidikan tentara yang dilakukan terhadap penduduk
(pemuda-pemuda) akhirnya menjadi faktor yang sangat mempengaruhi kemampuan dan
kualitas perjuangan fisik rakyat Mandar pada saat sekutu memenangkan peran
melawan Jepang (Idham, 2009).
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959, Afdeling
Mandar dimekarkan menjadi tiga kabupaten, yakni:
a.
Bekas onder afdeling Mamuju
menjadi Kabupaten Mamuju,
b.
Bekas onder afdeling Majene
menjadi Kabupaten Majene, dan
c.
Bekas onder afdeling Polewali dan
bekas onder afdeling Mamasa menjadi Kabupaten Polewali Mamasa (Panitia seminar
Kebudayaan Mandar, 10987).
Gagasan pembentukan Provinsi Sulawesi Barat telah berlangsung
cukup lama bahkan telah muncul pada saat awal-awal kemerdekaan RI. Setidaknya
ada enam tahapan pembentukan Provinsi Sulawesi Barat, yaitu:
Tahapan pertama. Pada tahap ini, perjuangan masih terbatas
dalam bayang-bayang dan pikiran para pejuang-pejuang kemerdekaan di Mandar
diantaranya oleh H.A. Malik Pattana Endeng dan pemuda-pemuda pejuang, bahwa
kelak jika Indonesia merdeka wilayah Pitu Ba'ba Binanga dan Pitu Ulunna Salu
akan menjadi Kresidenan atau Provinsi sendiri. Aspek kesejarahan adalah modal
dari perjuangan ini. Namun seperti yang mereka saksikan pemerintah R.I. setelah
melakukan rapat pada tanggal 19 Agustus 1945 hanya membagi Indonesia kedalam
delapan provinsi dan semua pasrah penerima kenyataan, hanya ada satu provinsi
di Sulawesi yakni Provinsi Sulawesi.
Tahapan Kedua. Pada masa pemerintahan Negara Indonesia Timur
beberapa kekuatan perjuangan telah mempersiapkan suatu rencana pemerintahan
Kresidenan/Provinsi. Aspirasi ini muncul pada hampir semua wilayah eks afdeling
Mandar. Namun yang menonjol dan terorganisir ialah kiprah Badan Permupakatan
Nasional disingkat BAPNAS yang dibentuk pada tanggal 17 Agustus 1948 yang
berkedudukan di ibukota afdeling Mandar, Majene. Organisasi ini diprakarsai
oleh Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII).
Tahapan Ketiga. Periode dari tahun 1950-1965, adalah masa
yang tidak kalah pahitnya dengan keadaan sebelum kemerdekaan dan sesudahnya.
Pada masa ini terjadilah pemberontakan Kahar Muzakkar dan seperti halnya dengan
daerah-daerah lain di Sulawesi Selatan wilayah eks afdeling Mandar praktis
terisolasi dari pemerintah pusat maupun dari pemerintah Provinsi. Hampir
seluruh Mamuju menjadi daerah de-facto DI/TII, demikian juga Majene dan Polmas
pada saat itu. Keadaan menjadi sangat buruk karena pemerintah di wilayah ini
seperti berada dalam keadaan darurat perang sementara pemerintahan swapraja
kurang berfungsi. Namun dalam suasana politik dan pemerintahan lokal yang
mencekam itu muncullah gerakan pemuda yang menanamkan diri "Front Pembebasan
Rakyat Tertindas Mandar (FPRTM)" pada tahun 1958 yang menginginkan diakhirinya
dualisme kekuasaan di wilayah Mandar dan agar kekuasaan Andi Selle dan anak
buahnya yang tidak terkendali dan banyak melakukan pelanggaran hak-hak azasi
manusia dilenyapkan dari tanah Mandar.
Tahapan Keempat. Masih tokoh-tokoh yang sama pada tahun 1958,
ditambah dengan mahasiswa-mahasiswa yang merupakan gelombang pertama
orang-orang Mandar yang mulai memasuki perguruan tinggi di Makassar. Di
Makassar, mulai terbentuk organisasi-organisasi kemasyarakatan, masing-masing
mewakili daerah-daerah eks swantara bahkan ada yang mewakili distrik atau eks
wilayah-wilayah kerajaan-kerajaan. Demikian juga organisasi pemuda dan
mahasiswa, tampil sebagai organisasi mengatasnamakan Polmas, Majene, dan
Mamuju. Namun yang perlu dicatat ialah terbentuknya "Mandar study and Sport
Club (MSSC)" pada tanggal 10 November 1964 menjadi organisasi mahasiswa lintas
kabupaten. Dari club inilah lahir gagasan-gagasan yang lebih fokus kearah
"kesadaran baru" untuk bangkit membangun Mandar yang "pembebasannya"
diperjuangkan oleh senior-senior mereka. Gagasan yang paling mengemuka ialah
perlunya mendesak Pemerintah Pusat agar Mandar dijadikan Provinsi tersendiri.
Tahapan Kelima. Tahap kelima ini boleh dikatakan gabungan
atau puncak dari suatu perjuangan pembentukan provinsi Mandar (Sulawesi Barat)
dalam suatu proses yang cukup lama sejak gagal menjadi Provinsi pada tahun
1964. Selama hampir tiga puluh tahun, nyaris tidak ada aspirasi terbuka yang
menuntut perobahan politik dan pemerintahan, termasuk aspirasi pemekaran.
Dikatakan puncak perjuangan karena tokoh-tokohnya merupakan
gabungan dari tokoh tua yang masuk kategori penggagas pada tahap pertama dan
kedua dan tergolong sebagai pejuang kemerdekaan Republik Indonesia (yag masih
hidup).
Selama kurun waktu 1994-1997, obsesi untuk membentuk provinsi
Sulawesi Barat masih terbatas sebagai wacana pada kegiatan diskusi dan
sarasehan, satu dan lain hal karena politik kenegaraan yang menempatkan
Presiden Soeharto sebagai segala-galanya, sistem politik yang berwajah tunggal,
sentralistis dan anti perubahan. Tetapi dalam tahap ini pula idealisme dan
aspirasi pembentukan provinsi Sulawesi Barat menemukan bentuknya yang paling
hakiki yakni "berjuang dalam kondisi apapun". Oleh karena itu, perjuangan
pembentukan provinsi Sulawesi Barat tidak bisa terbelenggu sebagai wacana saja,
tetapi telah dilontarkan secara terbuka. Dan itu terjadi jauh sebelum gelombang
reformasi datang pada tahun 1998, setidak-tidaknya antara tahun 1995-1998,
khususnya pada setiap pertemuan silaturrahmi dan Halal Bi Halal tahunan.
Pada berbagai kesempatan, Sulawesi Barat disosialisasikan
dikalangan cendekiawan, tokoh-tokoh masyarakat, sampai datang saatnya untuk
memulai gerakan secara terencana pada September 1998. Diawali dengan
pertemuan-pertemuan terbatas pada awal tahun 1998, Forum Sipamandar akhirnya
membentuk Komite Aksi Pembentukan Provinsi Sulawesi Barat (KAPP-SULBAR).
Tahap Keenam. Tahapan ini merupakan
puncak dari keberhasilan perjuangan pembentukan Provinsi Sulawesi Barat.
Setelah melalui proses politik yang cukup panjang, dengan segala kekuatan yang
ada, seluruh masyarakat bersatu untuk mewujudkan bekas afdeling Mandar Menjadi
satu provinsi tersendiri, terpisah dari provinsi Sulawesi Selatan. Perjuangan
terus bergulir, dan pada tanggal 22 September 2004 DPR RI menyetujui
Pembentukan Provinsi Sulawesi Barat untuk dikirim ke Presiden. Tanggal 5
Oktober 2004 UU No. 26 tentang pembentukan Provinsi Sulawesi Barat pun
ditandatangani oleh Presiden RI, Megawati Soekarno Putri, serta pada tanggal 16
Oktober 2004 Provinsi Sulawesi Barat diresmikan oleh menteri Dalam Negeri Hari
Sabarno atas nama Presiden RI di Mamuju.
Sebagaimana lazimnya, setiap daerah
pemekaran (provinsi), pemerintahan pertama diangkat langsung oleh Presiden.
Adapun penjabat pertama Gubernur Provinsi Sulawesi Barat adalah DR. Oentarto
Sindung Mawardi. Oentarto yang menjabat hampir dua tahun menyelasaikan pembentukan
perangkat pemerintahan provinsi, pembentukan KPU Provinsi. Karena dianggap
lamban, maka pemerintah pusat mengangkat penjabat Gubernur kedua, yakni Drs. H.
Syamsul Arif Bulu. Syamsul Arif Bulu menjabat Gubernur sekitar satu tahun
dengan agenda utama pelantikan DPRD Sulawesi Barat dan pemilihan Gubernur
Sulawesi barat yang defenitif.
UU Nomor 26 tahun 2004 meliputi lima
daerah kabupaten, yakni Kabupaten Polewali Mandar, Kabupaten Majene, Kabupaten
Mamasa, Kabupaten Mamuju, dan Kabupaten Mamuju Utara. Dengan demikian, daerah
wilayah Provinsi Sulawesi Barat meliputi wilayah Onder Afdeling Mandar pada
zaman pemerintahan Hindia Belanda (Idham, 2009).
Mandar dapat bermakna teritorial
(wilayah), suku bangsa, dan nilai. Mandar sebagai teritorial, memiliki
perkembangahn kota-kota mengikuti perkembangan sejarah wilayah yang ada di
dalamnya. Pada zaman empat belas kerajaan (PUS dan PBB), maka pusat kota berada
di Balanipa, dimana Balanipa sebagai ama (bapak atau ketua). Pada masa kolonial,
pada saat terbentuknya afdeling Mandar, ibukota pemerintah administratif berada
di Banggae (Majene), majene sebagai pusat pemerintahan juga sebagai pusat
pendidikan dan kesehatan (Idham 2011).
Seiring perkembangan waktu, setelah
afdeling Mandar terbagi ke dalam tiga kabupaten, pusat kota pemerintahanpun
terpecah, yakni kabupaten Polewali Mamasa beribukota di Polewali, Kabupaten
Majene beribukota di Banggae, dan Kabupaten Mamuju beribukota di Mamuju.
Setelah provinsi Barat berdiri sendiri,
berpisah dari induknya, Sulawesi Selatan, ibukota provinsi Sulawesi Barat yang
wilayahnya meliputi wilayah Afdeling Mandar berada di Mamuju.
Konflik ATM merupakan istilah yang populer di media massa
untuk menyebut peristiwa konflik sosial yang terjadi di wilayah Aralle,
Tabulahan, dan Mambi. Tidak terlalu jelas siapa atau media apa yang memulai
peristilahan itu. Kuat dugaan penyebutan ini dimaksudkan untuk lebih memudahkan
penyebutan dan kedengarannya lebih pop dan lebih familiar.
Husken dan Jonge (2003) telah mengingatkan bahwa konflik yang
terjadi di Indonesia bukan konflik yang a-historis. Atau dengan kata lain,
konflik yang terjadi di Indonesia selalu memiliki latar belakang sejarah
konflik sebelumnya. Konflik antar kelompok Islam dan Kristen sangat mudah
terjadi karena sebelumnya telah sering terjadi konfrontasi yang menyejarah,
misalnya konflik antar umat Islam dan Kristen pada zaman perang salib dan zaman
kolonialisme Belanda. Dwi Aries Tina (2005) yang melakukan penelitian terhadap
konflik Luwu juga menemukan bahwa konflik Luwu tidak muncul secara tiba-tiba
(a-history). Ada berbagai konflik sosial yang 'mendahului', berbagai konflik
sosial di Luwu yang terjadi sejak zaman kolonial Belanda, zaman DI/TII, dan
konflik sosial di awal kemerdekaan.
Demikian pula yang terjadi dalam konteks konflik ATM, sebelum
terjadinya kerusuhan sosial di wilayah Aralle dan Mambi itu, relasi sosial
politik ekonomi, dan agama antar wilayah di PUS dan Mamasa telah seringkali
mengalami ketegangan (yang kadang-kadang berujung pada terjadinya konflik
sosial). Konflik sosial hanya terjadi di beberapa desa di Aralle dan Mambi,
sedangkan di Tabulahan tidak terjadi konflik. Tapi Tabulahan menolak bergabung
dengan Kabupaten Mamasa. Hal ini juga menunjukkan bahwa penggunaan istilah
konflik ATM tidak terlalu tepat mengingat Tabulahan tidak terjadi konflik.
Berikut disajikan beberapa peristiwa ketegangan sosial antar warga di wilayah
PUS dan Mamasa sebelumnya
Tabel 1.
Tahapan Peristiwa Ketegangan Sosial PUS – Mamasa
Sebelum UU
No. 11 Tahun 2002
No
|
Tahap
|
Waktu/ zaman
|
Masalah
|
1
|
Pertama
|
Belanda
|
Kebijakan colonial Belanda yang menjadikan
onderafdeling Mamasa dengan ibu kota di Mamasa, dimana PUS tidak puas dalam
hal ini.
|
2
|
Kedua
|
Jepang
|
Ketegangan terjadi karena Jepang lebih memihak
Islam.
|
3
|
Ketiga
|
DI/TII
|
§
DI/TII
menguasai Mambi
§
OPR
yang diprakarsai masyarakat Tabulahan menyerang Mambi dan mengalahkan DI/TII
§
Masyarakat
Mambi bersama OPR membantu OPD di Mamasa melawan 710.
§
710
kalah, OPR dan OPD bermusuhan.
§
OPR
keluar dari Mamasa karena OPD dibantu GRTB.
|
4
|
Keempat
|
1959
|
Keinginan beberapa tokoh bekas onderafdeling
Mamasa untuk membentuk kabupaten Mamasa, akan tetapi sebahagian masyarakat
PUS menolak.
|
5
|
Kelima
|
1983
|
Ketengangan akibat buntut dari tahap ketiga tersebut
di atas, masyarakat Aralle ingin mengambil kembali tanahnya yang dicaplok
pada ewaktu itu.
|
6
|
Keenam
|
1986/1987
|
Keinginan tokoh masyarakat Mamasa yang duduk di
legislatif untuk membentuk kabupaten Mamasa, lagi-lagi keinginan ini ditolak
sebahagian masyarakat PUS.
|
Sumber:
diolah dari hasil wawancara, FGD, dan dokumentasi.
Konflik ATM merupakan konflik yang sangat kompleks. Sangat
sulit untuk menentukan secara jelas kronologis peristiwa ini (terutama pada
saat terjadinya konflik terbuka). Ini karena beragamnya berbagai cerita dari
masyarakat yang masing-masing sangat subyektif. Meski demikian, penulis membagi
kronologi peristiwa konflik sosial di ATM dapat dibagi kepada dua babakan
besar, yaitu:
Konflik pra pembentukan Kabupaten
Mamasa
Sebagai kelanjutan dari upaya pemekaran Kabupaten Mamasa yang
telah diwacanakan sejak puluhan tahun yang lalu, para tokoh Mamasa mendapatkan
peluang untuk kembali mewacanakan terbentuknya Kabupaten Mamasa beriringan
dengan berlakunya Undang-Undang Otonomi Daerah, tepatnya UU. No. 22 Tahun 1999
tentang pemerintahan daerah, dimana di dalamnya diatur peluang untuk melakukan
pemekaran wilayah bagi wilayah-wilayah eks kewedanan. Asumsi politis yang
melatarbelakangi wacana pembentukan Kabupaten Mamasa adalah kurangnya akses
tokoh-tokoh Mamasa dalam diskursus politik di Kabupaten Polmas. Hal ini kemudian
berimplikasi pada kurangnya perhatian pemerintah Kabupaten Polmas terhadap
pembangunan Mamasa. Akibatnya Mamasa menjadi tertinggal dan terbelakang.
Konflik pasca pembentukan Kabupaten
Mamasa (2002-2005)
Pasca penetapan pembentukan Kabupaten Mamasa melalui UU. No.
11 Tahun 2002, terjadi reaksi dari pihak di daerah Aralle, Tabulahan dan Mambi
yang merasa tidak puas dengan subtansi UU tersebut. Pasal 3 UU. N0. 11 2002
berbunyi: "Kabupaten Mamasa berasal dari sebagian wilayah Kabupaten Polewali
Mamasa yang terdiri atas: Kecamatan Tabulahan, Kecamatan Mamasa, Kecamatan
Tabang, Kecamatan Pana', Kecamatan Messawa, Kecamatan Sumarorong, Kecamatan
Sesenapadang, Kecamatan Tanduk Kalua', Kecamatan Mambi, dan, Kecamatan Aralle.
UU No. 11 2002 ini tidak disertai penjelasan mengenai boleh tidaknya
kecamatan-kecamatan atau desa-desa yang menolak bergabung untuk tetap berada di
bawah pemerintahan Kabupaten lama. Hal ini memunculkan kecurigaan dari pihak
kontra pemekaran, bahwa ini merupakan permainan politik tokoh-tokoh Mamasa yang
mengaburkan perjanjian Matakali dan rekomendasi DPRD Sulawesi Selatan.
Undang-Undang No 11 2002 yang menjadi landasan normatif bagi
pembentukan Kabupaten Mamasa dinilai tidak mengindahkan kesepakatan Matakali
dan rekomendasi DPRD Sulawesi Selatan yang membolehkan desa atau kelurahan yang
menolak bergabung dengan Mamasa untuk tetap bergabung dengan Kabupaten induk di
Polewali.
Penyebab konflik ATM dapat dibagi dalam tiga struktur
kategori. Pada lapis terbawah atau akar konflik (core of conflict) diisi oleh
konteks budaya yang diproduksi oleh sejarah masa lalu. Pada lapis kedua atau
disebut dengan konteks pendukung (facilitating context) diisi oleh konteks
politik, terutama efek politik di sekitar penerbitan UU. No. 11 Tahun 2002.
Konteks politik dalam konflik ATM memberikan porsi terbesar dalam konflik ATM.
Lapisan terakhir dalam konflik ATM atau sumbu konflik (fuse of conflict).
Selain politik, lapisan kedua ini juga diisi oleh konteks agama, terutama
polarisasi pemukiman warga yang mengikuti pola pemukiman terpisah berdasarkan
anutan agama tertentu. Sumbu konflik adalah peristiwa-peristiwa sosial antar
kelompok atau kebijakan-kebijakan Pemerintah Kabupaten Mamasa yang tidak
populer, yang kemudian meledak menjadi konflik kekerasan sepanjang tahun
2002-2005 (Idham, 2009).
Husken, Frans dan Huub de
Jonge. 2003. Orde Zonder Order; Kekerasan dan Dendam di Indonesia 1965-1998.
diterjemahkan dari buku asli yang berjudul " Violence and Vengeance;Discontent
and Conflict in New Order Indonesia. Yogyakarta, LKiS
Idham
dan Saprillah. 2010. Sejarah Perjuangan Pembentukan Provinsi Sulawesi Barat.
Yogyakarta: Zada Hanifa
Idham.
2009. Dinamika dan Resolusi Konflik (Studi Tentang Konflik Sosial di Kecamatan
Aralle, Tabulahan, dan Mambi (ATM) Sulawesi Barat). Makassar: PPs UNM
Idham.
2009. Makna Lambang Provinsi Sulawesi Barat (The Meaning of Logogram of West
Sulawesi. Makassar: Indobis Publisher
Idham.
2011. Kamus Besar Bahasa Mandar-Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Zada Hanifa
Komite
Aksi Pembentukan Provinsi Sulawesi barat (KAPP-Sulbar). 2001. Provinsi Sulawesi
barat: Suatu Keniscayaan Sejarah (Studi Kelayakan). Tidak diterbitkan.
Lopa,
Baharuddin. 1982. Hukum Laut, Pelayaran dan Perniagaan. Bandung: Alumni
Rahman, Darmawan Mas'ud.
1988. Puang dan Daeng Kajian Sistem Nilai Budaya Orang Balanipa Mandar.
Ujungpandang: PPs UNHAS
Saharuddin. 1985.
Mengenal Pitu Ba'bana Binanga (Mandar) dalam Lintasan Sejarah Pemerintahan
Daerah di Sulawesi Selatan. Ujungpandang: CV. Mallomo Karya.
Sahuding, Sarman. 2004.
Pitu Ulunna Salu Dalam Imperium Sejarah: Menguak Kisah Rakyat Mandar ditulis
dengan Gaya Jurnalisme Modern. Makassar: Selatan Jaya.
Tina NK., Dwia Aries.
2005. Kekerasan Komunal dan Damai: Studi Dinamika dan Pengelolaan Konflik Sosial
Luwu. Makassar: PPs UNHAS.