ALLAMUNGAN BATU DI LUYO DAN KONFLIK ATM
Konsep ‘Integrasi’ dalam literatur digambarkan sebagai bergabungnya berbagai komunitas terbatas ke dalam komunitas yang lebih besar. Tak ada definisi yang eksak tentang konsep integrasi serta sifat sesungguhnya dari penggabungan dan kejelasan tujuannya. Juga tentang bagaimana aturan kebebasan atau kedaulatan negara-negara yang terintegrasi. Contoh integrasi di bidang kerja sama ekonomi di era modern adalah bergabungnya berbagai negara-negara Eropa ke dalam Masyarakat Ekonomi Eropa ( MEE) yang juga disebut Pasar Bersama (Common Market). Jelas bahwa tujuan bersama MEE adalah untuk memperkuat ekonomi kawasan dan mengantisipasi persaingan dengan kelompok kerja sama negara-negara lain atau negara dengan kekuatan ekonomi besar, seperti Jepang, China ataupun Amerika Serikat. Dalam lapangan militer kita kenal Pakta Pertahanan negara-negara Atlantik Utara (NATO). Sifat integrasinya lebih cair katimbang MEE. Lebih sebagai kerangka untuk negosiasi aliansi dalam rangka menghadang kemungkinan agresivitas aliansi lain. Semisal Fakta Warsawa yang beranggotakan negara-negara Eropa Timur di bawah komando Uni Soviet. Di kawasan lain kita mengenal NAFTA yang menyatukan negara Amerika Utara dan Selatan, APEC negara-negra di kawasan yang berbatasan lautan Pacific, ASEAN untuk Asia Tenggra, atau SEATO bagi negara-negara Persemakmuran ( Commonweath).
Di Mandar pada masa kerajaan juga telah terjadi berbagai integrasi, aliansi dan koalisi antar kerajaan dengan aneka tema dan tujuannya. Juga dengan nama atau istilah yang berbeda. Assitalliang Boco Tallu adalah persekutuan antara tiga kerajaan, Sendana, Alu dan Taramanuq. Integrasi itu diprakarsai oleh Puatta Disaragiang yang terjadi kira-kira di akhir abad ke 9. Rakyat tiga kerajaan berikrar sehidup semati, senasib sepenanggungan selaras dengan pinta leluhur. Ikrar Tammejarra I adalah integrasi antar enam kerajaan di Mandar minus Binuang, yakni Balanipa, Sendana, Banggae, Pamboang, Tappalang dan Mamuju. Di Tammejarra para maraqdia membuat ikrar yang antara lain bertujuan untuk saling memperkuat di bidang pertahanan dan keamanan. “ Madondong duangbongi, anna diang pole sara, na mappattumbiring litaq anna disulluqi tammala, diliqai tammala, diondongngi tammala, maqganna tomi tia tommuane, na maqosoang naung letteq ingga lekkoang, anna membereq di olona litaq ( Besok atau lusa ada bencana yang datang mengancam, yang akan menghancurkan negara, dan akan menjongkok tak akan terlalui, dilangkahi tidak bisa, dilompati tidak bisa, maka pada saat itulah sampai waktunya laki-laki patriot akan menanam kaki sampai ke lutut dan rela terkapar di pangkuan Ibu Pertiwi). Dalam teks ikrar Tammajarra I versi Sendana, ada disebutkan kerajaan Passokkorang yang dijadikan musuh bersama karena rajanya lalim dan sewenang-wenang.
Ikrar Tammejarra II yang berlangsung di abad 15, telah menyertakan kerajaan Binuang, sehingga menjadi Pitu Ba’bana Binanga atau tujuh kerajaan di hulu sungai. Dalam ikrar Tammejarra II ditegaskan bahwa ketujuh kerajaan adalah satu turunan dari Tokombong Diwura. Juga ditetapkannya bahwa bahwa Balanipa adalah ‘ Sambolangiq di Pitu Baqbana Binanga. Sambolangiq adalah sebangsa burung Elang yang tidak suka makan ayam dan selalu terbang tinggi. Sambolangiq adalah simbol Menteri Pertahanan dan Intelijen dalam sistem pemerintahan tradisional di Mandar. Misalmnya Matangnga adalah sambolangiq di Pitu Ulunna Salu. Limboro Rambu-Rambu adalah sambolangiq di kerajaan Sendana. Dipadatkan juga dengan penyebutan Amai Balanipa, Sendana jari kindoq, Banggae anaq tommuane, dan Pamboang anaq tobaine.
Di atas adalah integrasi yang bersifat ke dalam dan lebih ajeg dan panjang pengaruh dan akibatnya. Ada juga yang bersifat keluar dengan integrasi yang tidak bersifat budaya, tapi lebih bertujuan politis, pragmatis dan berjangka pendek. Assitalliang atau perjanjian di Lanrisang terjadi antara Balanipa dengan kerajaan Bone. Balanipa diwakili oleh Daeng Riosoq To Matindo di Marica, sedang Bone oleh Aru Palaka, To Malampek Gemmena. Perjanjian ini lebih merupakan perjanjian perdamaian, sekaligus pengakuan kedaulatan masing-masing. Ada juga perjanjian antara Pitu Baqbana Binanga dengan kerajaan Ajatappareng yang terdiri dari Sawitto, Alitta, Suppa, Sidenreng dan Rapang. Perjanjin ini untuk saling bekerja sama dan penegasan atas kesetaraan dan persamaan derajat dua konfederasi.
Sebagai puncak dan terbesar (Primus inter pares) dari berbagai perjanjian integrasi di Mandar adalah ‘Muktamar Luyo’ atau “ Allamungang Batu di Luyo” Pada Assitalliang ini hadir semua raja-raja PBB dan PUS yang merumuskan dan menetapkan suatu persatuan dan kerja sama yang berdimensi politik keamanan, ekonomi dan sosial budaya. Pertemuan akbar yang terjadi di tahun 1610 itu mengandung makna dan dampak yang luas serta mendalam. Sebuah koalisi permanen yang telah menjadi ‘Cetak Biru’ pembentukan provinsi baru di Nusantara ini, yakni Sulawesi Barat. Persatuan yang bermatra genealogis dan territorial yang nyata dan mempunyai akibat hukum, budaya dan politis yang kongkrit, bernilai idealis dan realistis, sekaligus pragmatis dan aplikabel. Kelemahan pada otonomi mutlak masing-masing kerajaan yang bergabung serta ancaman eskalasi kekuatan-kekuatan hegemonik kerajaan-kerajaan besar yang ada, telah disudahi dan diantisipasi dengan sebuah keputusan yang cerdas dan bijak, sehingga stabilitas intern ataupun kawasan ekstern bisa terjaga dan terawat. Di Luyo, PBB dipimpin oleh maraqdia Balanipia, Tomepayung, dan PUS dipimpin oleh Londodehata, yang biasa disapa Neneq Tomampu, raja Rantebulahan.
Allamungang Batu di Luyo telah menghasilkan sebuah monumen kesapakatan yang abadi berupa Ikrar yang berbunyi sbb : Ulu Salu memata di sawa, Baqba Binanga memata di peqarappeanna mangiwang. Sisaraqpai mata malotong anna mata mapute annaq sisaraq Pitu Ulunna Salu anna Pitu Baqbana Binanga. Sapala Tappere disolai (Pitu Ulunna Salu mengawasi musuh yang datang dari arah pegunungan, dan Pitu Baqbana Binanga mngawasi musuh yang datang dari arah laut. Nanti berpisah mata hitam dengan mata putih baru berpisah Pitu Ulunna Salu dengan Pitu Baqbana Binanga. Satu tikar bersama).
Allamungan Batu di Luyo adalah manifestasi dari spirit atau etos persatuan dan kesatuan, persatuan dan demokrasi yang secara inheren tertanam di jiwa orang Mandar, di daerah PBB ataupun PUS. tdiak heran maka dalam perjanjian tersebut muncullah istilah Sipamandar atau Sipamandaq yang bermakna saling menguatkan, lalu menjelma menjadi kata “ Mandar” Allamungang Batu di Luyo adalah sebuah prestasi dan achievement genuine orang Mandar , juga sebagai pembuktian adanya peradaban tinggi masyarakat yang menjunjung perdamaian, demokrasi dan kemanusiaan. Jarang ada di Nusantara ini suatu aliansi yang mempunyai nafas panjang dan dalam, seperti perjanjian di Luyo tersebut. Monumen sejarah Mandar itu hingga era modern masih menentukan dan berpengaruh di dalam budaya dan konstellasi politik domesti maupun nasional. Ia tak bisa disepelekan apalagi dilupakan.
Seperti diketahui pada tahun 2003 sampai 2004 telah terjadi konflik di wilayah Aralle, Tabulahan dan Mambi (ATM) yang dipicu oleh masalah pembagian wilayah pasca pemekaran kabupaten Polewali Mamasa menjadi dua yakni kabupaten Polman dan Mamasa. Di sini tidak akan mengangkat fakta secara detail dan jumlah korban dan kerugian yang jatuh saat terjadi konflik komunal yang berdasar primordialisme itu, karena bersifat traumatik. Sebelum turunnya UU pemekaran, yakni UU Nomor 12 Tahun 2012, pada tahun 2001 muncul aspirasi warga masyarakat pada pemekaran kabupaten Polmas, yang menghasilkan kesepakatan bahwa nantinya Desa Bambang, dan Desa Tabang akan tetap berada di wilayah Polman. Dan kesepakatan itu telah diteruskan DPR dan pemda Provinsi Sulawesi Selatan ke pemerintah pusat. Tapi entah mengapa ketika turun UU NO. 12 ttg pemekaran, di sana diatur bahwa kedua desa tersebut masuk ke dalam willayah ATM Kabupaten Mamasa. Karena tidak sesuai dengan kesepakatan awal warga, maka konpflik berkepanjangan pun terjadi dan hampir saja merusak seluruh tatanan yang ada di wilayah PBB dan PUS.
Warga desa Bambang dan desa Tabang tidak mau masuk ke kabupatan Mamasa karena mereka masih terikat secara budaya dan psikologis dengan masyarakat dan budaya di PBB. Mereka masih merasa terikat dengan ikrar persatuan PBB dan PUS di Alamungan Batu di Luyo beserta nilai-nilainya yang terkandung alam ungkapan “ Sisaraqpai mata mapute annaq mata malotong anna mane sisaraqi Pitu Ulunna Salu anna Pitu Baqbana Binanga. Dan pranata sosial yang tercipta di masa lalu itu seperti abadi di jiwa mereka, sehingga menjelma jadi adat budaya yang mengikat untuk dipatuhi. Persatuan dan persaudaraan telah terinternalisasi dalam waktu lama, sehingga sulit untuk dimentahkan kembali atas nama efisiensi, efektivitas serta prinsip span of control managemen pemerintahan. Walau akhirnya permasalahan budaya tersebut telah bisa diatasi dengan pendekatan budaya dan kesejahteraan oleh aparat keamanan dan pemda setempat, namun hendaknya pemerintah pusat belajar dari kasus tersebut, akan pentingnya memperhatikan kearifan dan kekhasann serta aspirasi masyarakat lokal untuk tidak diabaikan begitu saja.
Membuat UU pemekaran atau apapun itu, hendaknya betul-betul adil dan tidak diskriminatif, serta memperhatikan aspirasi masyarakat adat seminim apapun bentuk dan suaranya. Ketika masyarakat Pro Mamasa atau yang Kontra telah sepakat pada pemekaran yang berdasar pada peta historis,sosial dan religi, dengan saling menghargai pilihan masing-masing, pemerintah malah menerbitkan UU NO, 12 Tahun 2002 yang tidak aspiratif dan sesuai dengan keinginan warga, maka terjadilah konflik SARA di ATM yang bersifat traumatik tersebut. Semoga tak terulang lagi kasus serupa di masa depan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar