Jumat, 04 Maret 2016

K.H. Muhammad Thahir “Imam Lapeo”

K.H. Muhammad Thahir “Imam Lapeo”

4 Maret 2016| Posted In : Sejarah, Tokoh
imam lapeohttp://ragamsulawesibarat.blogspot.co.idK. H. Muhammad Thahir adalah sosok pemimpin agama yang menjadi panutan bagi masyarakat di daerah Mandar khususnya Polmas. Oleh sebab itu, K. H. Muhammad Thahir ditempatkan pada posisi terhormat dan disegani karena menjadi sumber ilmu bagi masyarakat yang memerlukan bimbingan rohani. Beliau dipandang sebagai pemimpin kharismatik yang memiliki kelebihan serta karamah, diantaranya kemampuan beliau dalam menyembuhkan penyakit dan kecintaan beliau kepada rakyat merupakan bagian dalam kehidupannya.
K. H. Muhammad Thahir dilahirkan pada tahun 1838 M di Pambusuang (sekarang wilayah Kec. Balanipa Kab. Polmas, Sulsel). Ayahnya bernama Muhammad Bin Haji Abdul Karim Al Talahi adalah seorang guru mengaji Al Qur’an yang menggunakan metode mengajar yang handal yang diwariskan dari kakek Imam Lapeo yaitu H. Abd. Karim Al Talahi yang juga dikenal dengan sebutan Ikaji, sedang kakek beliau dari pihak ibunya bernama Ilego dan neneknya bernama Leana yang menurut silsilah kekerabatannya berasal dari turunan Hadat Tanggelang (suatu wilayah yang berstatus distrik dalam wilayah pemerintahan Swapraja Balanipa dahulu, sekarang Kec. Luyo Kab. Polmas).
Di masa kecilnya, K. H. Muhammad Thahir oleh orang tuanya diberi nama Junaihim Namli. Semenjak kecilnya ia dikenal sebagai anak yang patuh serta taat kepada orang tua, jujur serta pemberani dan punya kemauan yang keras.
Di usia 25 tahun, bersama dengan paman beliau, H. Bukhari, merantau ke Padang Sumatera Barat. Selain untuk mendalami ilmu agama dari para ulama Padang, juga berdagang sarung sutera Mandar. Di usia 27 tahun, Junaihim Namli dinikahkan oleh gurunya Sayid Alwi Jalaluddin Bin Sahil (seorang ulama besar dari Yaman yang sangat mempengaruhi pemikiran beliau dan banyak memberikan motivasi untuk berjuang memberantas kejahilian) dengan seorang gadis yang bernama Nagaiyah (yang kemudian berganti nama menjadi Rugaiyah). Pada pernikahan inilah nama asli Junaihim Namli diganti oleh gurunya menjadi Muhammad Thahir.
Di bidang pendidikan formal beliau tidak begitu menonjol, justru beliau lebih tertarik pada ilmu agama. Di usia kanak-kanaknya beliau telah berkali-kali mengkhatamkan Al Qur’an melampaui teman-teman sebayanya. Menjelang usia remaja, beliau mulai memperdalam bahasa Arab dengan mengkaji ilmu Nahwu dan Sharaf di Pambusuang. Setelah itu, beliau berangkat ke pulau Salemo untuk lebih mendalami ilmu agama Islam di bawah bimbingan ulama besar dari Gresik Jawa Timur, pada masa itu pulau Salemo sangat terkenal dengan pesantrennya yang banyak melahirkan ulama besar di nusantara.
Setelah sekian tahun berguru di pulau Salemo, beliau kemudian berangkat menuju Padang Sumatera Barat dan tinggal di sana selama 4 tahun. Beliau juga pernah mengunjungi Semenanjung Malaka (sekarang Singapura). Sesudah itu beliau melanjutkan perjalanan ke Mekkah untuk memperdalam ilmu agama dengan mendatangi beberapa ulama besar yang menguasai ilmu Fiqh, Tafsir, Hadits, Ilmu Kalam dan lain-lain. Beliau tinggal di Mekkah beberapa tahun lamanya.
Dalam perjalanan hidupnya, K. H. Muhammad Thahir pernah menikah enam kali. Pernikahan tersebut didasarkan pada kesadaran beliau bahwa dengan cara demikian merupakan metode dakwah yang sangat efektif dalam mengembangkan syiar Islam. Hal tersebut ditandai dengan kenyataan bahwa beberapa dari istrinya berasal dari keluarga terhormat di kalangan masyarakat Mandar, yang dianggap dapat menunjang perjuangan dakwah beliau.
K. H. Muhammad Thahir atau yang lebih dikenal dengan sebutan Imam Lapeo, tidak hanya dikenal sebagai ulama yang menyebar Islam di tanah Mandar, Sulawesi Barat. Tapi, yang tak kalah penting lagi adalah cerita unik tentang kisah-kisah semasa hidupnya.
Dalam buku yang memuat tentang perjalanan hidup Imam Lapeo yang ditulis oleh cucu Imam Lapeo sendiri Syarifuddin Muhsin, ada 74 karamah (kelebihan) dalam kisah hidup beliau. Sebagian diantaranya, menyelamatkan orang tenggelam, melerai perkelahian di Parabaya, menghentikan penyiksaan KNIL, jadi perlindungan Arajang Balanipa, berbicara dengan orang mati, menangkap ikan di laut tanpa kail, memendekkan kayu, menghardik jenazah, mengatasi pendoti-doti (guna-guna), berjumat pada tiga tempat pada waktu bersamaan, menebang kayu dengan tangisan bayi, naik becak ke Mamuju, membatalkan tunangan dengan anggota Muhammadiyah, tidak suka bunyi-bunyian (musik).
Peran Imam Lapeo tidak terlepas dengan karamah kesufian yang ada pada dirinya. Misalnya, tangannya kebal terhadap api. Diceritakan, selama belajar di hadapan Sayyid Alwi al-Maliki, Imam Lapeo juga bertindak sebagai penuntun unta terhadap gurunya dalam berbagai perjalanan.
Saat sang guru Sayyid Alwi al-Maliki bersama muridnya Imam Lapeo melakukan perjalanan antara Mekkah dan Madinah, karena keamanan di jalan kurang terjamin, mereka singgah istirahat dan berkemah di jalanan. Ketika itu, sang gurunya mengetahui Imam Lapeo mengisap rokok. Sang Guru langsung mengambil rokok tersebut dari tangannya, dan rokok yang terbakar itu ditekankan ke telapak tangan muridnya. Dalam keadaan demikian, Imam Lapeo tidak merintih dan tidak merasakan kesakitan, malah hal itu dibiarkannya sampai semuanya selesai.
Sementara, pengalaman pertama beliau ketika baru saja berada di Mandar, adalah penduduk setempat mencoba mengujinya, melakukan semacam permainan berbahaya. Waktu itu, Imam Lapeo sedang khutbah di atas mimbar pada hari Jumat, dan bersamaan itu pula muncul suatu gumpalan api yang sangat tajam cahayanya.
Gumpalan api yang pada mulanya laksana sebutir telur yang sinarnya sangat tajam itu, tiba-tiba menjadi besar dan bergerak dari depan dengan kencangnya menuju ke hadapan beliau. Pada saat menengangkan itu, dan sejengkal lagi gumpalan api itu mengenai mukanya, Imam Lapeo hanya bergerak dengan isyarat matanya. Akhirnya gumpalan api itu menyingkir dari hadapannya dan mengenai tembok di belakang mimbar. Tembok masjid tersebut hancur rata dengan tanah.
Kisah lain adalah, Imam Lapeo menundukkan ular. Suatu ketika beliau diundang menghadiri pesta walimah di Tapalang, daerah Mamuju. Ketika jamuan makan dimulai, tiba-tiba muncul ular-ular di piringnya yang ingin digunakannya untuk makan. Ular-ular tersebut, tiada lain dari orang tertentu yang konon kabarnya ingin mempermalukan Imam Lapeo di tengah pesta.
Imam Lapeo sebagai ulama sufi yang tawadhu, hanya menyaksikan ular-ular itu meliuk-liukkan badannya, sampai akhirnya jumlah ular bertambah banyak dan meloncat-loncat. Walhasil, hanya dengan mengancam ular-ular itu dengan memberi isyarat, maka dengan seketika ular-ular tadi hilang dengan sendirinya.
Imam Lapeo mengembangkan agama Islam di Mandar dengan menggunakan pendekatan Tasawuf, menyesuaikan kondisi pada masyarakat saat itu yang masih banyak dipengaruhi tradisi-tradisi lama yaitu animise dan dinamisme.
Metode pendekatan Tasawuf, pada dasarnya merupakan bentuk tharikat dalam ajaran Islam. Beliau langsung memberikan contoh kepada masyarakat dengan metode sufistik yang kemudian menarik banyak simpati kalangan masyarakat. Pernah suatu waktu beliau didatangi seorang ahli sihir yang menyatakan keislamannya di hadapan beliau.
K. H. Muhammad Thahir “Imam Lapeo” adalah seorang sosok ulama besar, oleh masyarakat di tanah Mandar menyebutnya sebagai Waliyullah. Tenar dengan sebutan Imam Lapeo sebab beliaulah yang merintis serta pendiri Masjid Lapeo yang terletak di Kecamatan Campalagian Kab. Polmas. Dalam menyebarkan ajaran Islam di Mandar, Imam Lapeo menempuh berbagai cara yaitu dakwah, pendidikan serta jalur pernikahan.
K. H. Muhammad Thahir “Imam Lapeo” menghembuskan nafas terakhir dengan tenang dalam usia 114 tahun, pada hari Selasa 27 Ramadhan 1362 H, bertepatan dengan tanggal 17 Juni 1952 di Lapeo. Dimakamkan di halaman Masjid Nur At Taubah (bercirikan dengan menara yang tinggi). Hingga saat ini, makam K. H. Muhammad Thahir yang populer dengan sebutan “Tosalamaq Imam Lapeo” senantiasa ramai dikunjungi oleh peziarah yang datang dari berbagai daerah di tanah air.
Selain  itu, sepeninggal beliau, hingga saat ini kuburannya banyak didatangi orang. Ada suatu kaidah dalam kewalian dan kesufian yang menyatakan seorang waliyullah apabila nampak karamah (keluarbiasaan) pada waktu hidupnya pada dirinya, maka akan nampak pula karamah pada waktu sesudah matinya.
Seorang sufi, apabila dikunjungi orang pada waktu hidupnya, maka dikunjungi pula banyak orang sesudahnya matinya/makamnya. Hal inilah yang terjadi pada diri Imam Lapeo, dimana kuburannya dikunjungi oleh banyak orang, terutama pada hari-hari tertentu, misalnya pada saat-saat sebelum pemberangkatan dan setelah kembali dari tanah suci Mekkah.
Walaupun kiprah dan perjuangan Imam Lapeo sering direduksi dan dibumbui dengan hal-hal yang berbau supranatural seperti cerita tentang kemampuannya berada di dua tempat sekaligus, menaklukkan para tukang Doti, namun intelektual sekelas Emha Ainun Najib meyakini kisah-kisah Imam Lapeo.
Ada banyak nelayan Mandar yang percaya, bila terhadang badai di tengah laut, mengingat sang Panrita (sebutan ulama bagi masyarakat Sulsel) untuk kemudian memanggil namanya adalah salah satu cara menaklukkan badai. Ya, itulah salah satu bentuk betapa orang Mandar menganggap Imam Lapeo sebagai ulama berkaramah. Banyak rumah di Mandar memasang fotonya di dinding rumah.
[dikutip dari berbagai sumber] * Nayaka Rewa
http://ragamsulawesibarat.blogspot.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar