Selasa, 15 Maret 2016

Situs Bala Tau Mandar

Tampil : 1763 kali.
Situs Bala Tau Mandar
Pada masa sebelum dan dalam masa pemerintahan Imanyambungi maka hukum diputuskan dan dieksekusi di sebuah tempat yang disebut Bala batu, yang kemudian bernama Bala tau dan selanjutnya bernama Balanipa yang kemudian menjadi nama dari kerajaan Balanipa akronim dari kata Bala dan Nipa.
Setiap sengketa atau perkara yang terjadi harus diselesaikan dengan tata cara yaitu : bagi kaum pria adalah Situyu Purrus (mengikatkan kedua tali celana kolor) yang artinya adalah dengan mengadu kekuatan lewat duel satu lawan satu, siapa yang menang dalam perang duel tersebut, maka dialah yang akan dinyatakan sebagai pemenang dan dianggap benar, dan siapa yang kalah dalam berduel maka dialah yang dinyatakan bersalah dan berhak dihukum sesuai dengan tingkat kesalahannya yang didakwakan dalam perkara, sedangkan bagi kaum wanita yang bersengketa, dilakukan dan diputuskan lewat tata cara merendam kedua tangan hingga pergelangan atau sampai pada sikut tangan ke dalam Pamuttu Minna atau Pamuttu Uwai (wajan yang berisikan minyak atau air yang sedang mendidih) Amar keputusan adalah siapa di antara keduanya yang lebih awal mengangkat atau mencabut salah satu atau kedua tangannya maka dialah yang dinyatakan kalah dan dianggap sebagai orang yang bersalah dan yang tidak mengangkat salah satu atau kedua tangannya maka dialah yang dinyatakan sebagai pemenang atau yang berada di pihak yang benar.
Dalam peristiwa ini tidak menutup kemungkinan untuk kedua-duanya meninggal dunia, akan tetapi jikalau salah satu di antaranya ada yang menang dan hidup maka dialah yang dinyatakan sebagai pemenang dan lepas dari dakwaan hukum dengan kata lain bahwa orang tersebut berada di pihak yang benar lalu dibebaskan dari segala dakwaan ,dan peristiwa ini berlangsung di Bala Tau, adapun yang meninggal maka mayatnya akan dibuang ke dalam Orro (jurang). Dari kejadian tersebut di atas, maka sebuah dataran tinggi yang terletak antara Lepuang (Tempat Todilaling di makamkan) dengan lokasi Bala Tau disebut Buttu Karrang (Bukit Amis) artinya bau amis dari bangkai yang dibuang ke dalam jurang yang sangat berbau amis dan tercium sampai jauh ke tempat lain, begitu juga dengan sebuah perkampungan kecil di sebelah selatan, di bawah kaki bukit yang dekat dengan jalan menuju lokasi Bala Tau terdapat sebuah kampung yang diberi nama Pullamorro yang artinya mengerang, hal ini disebabkan karena setiap orang yang akan meninggal setelah kalah dalam duel maka terdengar suaranya merintih dan mengerang sampai di tempat tersebut, juga sewaktu kematian dari tujuh orang hulubalang {joa) dan tujuh orang dayang istana yang mengiringi Tomepayung ke dalam liang lahat yang merasa bangga karena telah terpilih untuk dapat membuktikan baktinya terhadap junjungannya, sehingga tempat tersebut bernama Pullamarro, dan tidak jauh dari tempat ini pula yaitu dekat dengan Passauwwang Nipa (sumur Nipa) terdapat sebuah tempat bernama Parragangan artinya tempat bermain raga (Takrauw) oleh para hulubalang (Joa) atau para tamu yang datang di kawasan kerajaan Balanipa untuk sekedar memperlihatkan ketangkasan dan keahliannya dalam permainan raga.

Adapun lokasi Bala Tau dan sekitarnya yang kemudian bernama Tammajarra yang berasal dari ungkapan bahwa dengan peristiwa yang memakan korban tidaklah membuat orang untuk jera melakukannya karena salah satu atau keduanya pasti menjadi korban sehingga oleh Mara’dia Towaine (Permaisuri) bernama Karaeng Surya yang berasal dari Kerajaan Gowa yang dipersunting oleh lmanyambungi dan diboyong ke Napo (Mandar). Beliau dalam dialognya pada setiap peristiwa yang terjadi sering menyapanya dengan sebutan Tena Jarrana (Tidak jera-jeranya) artinya bahwa hal yang sudah diketahuinya pasti merugikan dirinya sendiri namun masih tetap saja dilakukan, sehingga tempat tersebut kemudian bernama Tammajarra atau Tammejarra.

Hukum Bala Tau ini tidaklah bertahan lama ia hanya berlangsung pada pertengahan pemerintahan Imanyambungi, karena saat itu muncul seseorang yang ahli dalam masalah hukum yang ditandai dengan dapatnya beliau menyelesaikan sengketa antara Pepuangan Limboro dan Pepuangan Biring Lembang dalam sebuah kasus tentang Pettumaeang (pelamaran) yang persoalannya selesai dengan tidak menimbulkan korban dan saling dirugikan, orang itu adalah yang bernama Puang Sodzo (karena kelak setelah diangkat menjadi pejabat kerajaan beliau sangat rajin bertani sehingga disebut Puang Sodzo yaitu rajanya sabit) yang dalam perjalanan selanjutnya diangkat menjadi Pa’bicara Kaiyyang (pembicara besar) artinya kepala dalam hal pembicaraan yang menyangkut tentang hukum di kerajaan Ba1anipa. 30 Pa'bicara Kaiyyang yang menjadi hakim pada setiap eksekusi yang berlangsung di Bala Tau, merasa bahwa hakim sebelumnya tidaklah relevan dan banyak menyimpang dari kata adil, maka beliau lalu menetapkan hukum dan tata cara dalam mengambil sebuah keputusan atas izin Mara’dia dan mendapat persetujuan dari lembaga adat Appe' Banua Kaiyyang.

Adapun hukum dan tata cara tersebut sebagai sebuah pedoman untuk menentukan keputusan adalah sebagai berikut :

Appe'i rupanna uru’ bicara di Balanipa (Mandar)
1. Tutu masagala bali-bali
2. Palalo bali-bali
3. Oro’ bali-bali
4. Sa'bi ba1i-bali


artinya :
Ada empat pokok persoalan untuk memutuskan sebuah perkara di Balanipa (Mandar) adalah:
1. Meneliti dan menganalisa perkataan kedua belah pihak.
2. Mendengar kata sanak saudara dari kedua belah pihak.
3. Melihat kedudukan dari kedua belah pihak
4. Mempunyai saksi untuk di minta kesaksian oleh kedua belah

Dan kemudian hukum inilah yang berlaku sampai masa kerajaan di hapuskan dan peninggalan sebagai bukti sejarah masih dapat kita saksikan di Bala Tau ini adalah bekas telapak kaki seorang menjalankan eksekusi pengadilan (hukum), akibat dari adanya aturan hukum yang pernah bertanding dan memiliki ilmu tenaga dalam yang sangat dahsyat dalam hal kedigjayaan, tiga buah batu sebagai tungku dan sebuah liang tempat pimpinan sidang menyaksikan jalannya eksekusi.

Dengan putusan yang dirobah ini atau disebut amandemen maka tempat ini kemudian dijadikan balai pertemuan dan juga masih difungsikan sebagai tempat untuk memutuskan perkara (pengadilan) yang dilakukan oleh Pa’bicara Kaiyyang.

Ketaatan dan kepercayaan rakyat Balanipa terhadap penegakan hukum, aturan, pengahiran terhadap pemerintah sangat besar dan hal ini dapat pula disimak dari ungkapan adat ucapan Puang Sodzo selaku Pa’bicara kaiyyang, jabatan ini identik dengan Mahkamah Agung atau Jaksa Agung atau dapat juga di sebut sebagai kepala pengadilan di kerajaan Balanipa yang sampai saat sekarang ini masih hidup di kalangan masyarakat Mandar yaitu:

- Mua` ditami balimbunganna ada’, tuomi tau tammate, mapia takkadzae’, apa’ metturundummi tau di barimbing, mettullung di ropo uwwe.
- Mua’ tadami tau lao dziolona, andiammi tau bicaranna issi para’buenami tau.
- Apa Naiyya ada’ takkeana'i, takkeappoi, tammarriwai, tammakkalleppi, tale namellettei di batang kambu tale namessenderi di ayu mate.

Artinya :
- Apabila kita telah melihat bubungan rumahnya adat (penegakan hukum) maka kita berarti telah hidup, kematian terhindar dan kebaikan yang menyongsong, keburukan bakal terkikis, karena kita telah bernaung di balik pohon yang rimbun dan telah terlindung di balik lebatnya rumput rotan
- Apabila kita telah berada di hadapannya maka kita menyerahkan diri untuk menjadi bahan persidangannya dan isi ketetapannya
- Karena seorang penegak hukum tak akan bakal mementingkan anak, tak akan mengutamakan cucu, tak akan ada yang bakal di pangku dan tak akan ada yang bakal menjadi momongan, seorang penegak hukum tak akan meniti pada jembatan kayu yang sudah lapuk dan tak akan bakal bersandar pada pohon yang telah mati.

Ungkapan adat Puang Sodzo yang tersebut di atas memberikan harapan kepada masyarakat akan adanya perlindungan hukum sehingga terlukis cukup keras kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah kerajaan sangat besar sehingga jalinan dan hubungan antara masyarakat dan pemimpinnya terjalin sangat baik bahkan masyarakat memberi pengakuan baktinya terhadap pemimpin mereka sebagaimana dinyatakan dalam sebuah ungkapan :

Naposiri’ii Mara'dia, napomatei batuanna
(malu mencoreng raja maka taruhannya adalah nyawa bagi rakyatnya)

namun ungkapan ini berlaku apabila sepanjang raja tersebut tetap mengayomi dan memberi perlindungan serta memperhatikan akan rakyatnya akan tetapi apabila sebaliknya maka rakyat tidak segan-segan akan menentang bahkan raja akan dipaksa untuk turun dari tahta kerajaan dan tidak berhak lagi bergelar sebagai Indo Ama (pemimpin sebagai panutan)

Bukit Tammajarra yang memanjang dari selatan ke utara ini pada Zaman dahulu masuk dalam wilayah Pappuangan Napo dan Pappuangan Balanipa dengan ketentuan batas adalah lolong uwai (air mengalir) maksudnya adalah di atas bukit ini sebagai kawasan Tammajarra jika air yang mengalir (Hujan) menuju ke arah timur maka wilayah itu masuk ke dalam kekuasaan Pappuangan Balanipa dan yang dilalui mengalir ke arah barat maka wilayah itu berarti masuk ke dalam wilayah kekuasaan Pappuangan Napo.


Dikutip dari Buku Jelajah Situs Sejarah dan Cagar Budaya di Mandar,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar