Selasa, 15 Maret 2016

Lalikang Tallu di Malunda

Lalikang Tallu di Malunda

http://ragamsulawesibarat.blogspot.co.id Bila berbicara tentang Malunda dalam kaitannya dengan Mandar lama, maka akan timbul pertanyaan besar :
Mengapa Malunda yang letaknya antara Sendana dan Mekkatta tidak termasuk dalam Konfederasi Kerajaan Babana Binanga, padahal Malunda adalah salah satu wilayah yang cukup luas pada daerah pesisir pantai Mandar dengan pemerintahan (kerajaan) sendiri?

Mari kita simak tulisan berikut, oleh Bustan Basir Maras, disadur dari bukunya Pabandangan Peppio, 2009.



Lalikang Tallu di Malunda

Dalam persebaran kebudayaan manusia Ulunna Salu, tentu tak lepas dari pembicaraan mengenai istilah Lalikang Tallu di Malunda.

Lalikang Tallu di Malunda atau Tiga Tungku di Malunda dalam hal Mandar lama (ada' simemangan) adalah terdiri dari Tallu Banua Kaiyyang (Tiga Perkampungan Besar) yakni Lombang, Malunda dan Mekkatta. Sehingga secara terpisah, terlepas dari berbagai defenisi dan istilah yang pernah muncul, secara umum, Malunda dapat dipahami dan didefenisikan sebagai Lita Tanda'na Ulu Salu di Ba'bana Binanga (Persebaran Kebudayaan Tanah Ulunna Salu di Babana Binanga).

Itulah sebabnya sehingga Malunda tidak masuk dalam hitungan 7 kerajaan di pesisir pantai (Babana Binanga), sebab Malunda adalah hasil persebaran kebudayaan yang langsung datang dari Ulunna Salu.

Hal itu dapat ditelusuri dari bahasa tutur atau bahasa ibu orang Ulunna Salu dan bahasa ibu orang-orang yang mendiami wilayah Lalikang Tallu tersebut, yakni Lombang, Malunda dan Mekkatta.

Selain itu terdapat pula sejumlah pendapat yang mengatakan bahwa ketika perjanjian pembagian wilayah Pitu Babana Binanga dan Pitu Ulunna Salu dilaksanakan di Luyo, sebagai sebuah upaya konfederasi kerajaan-kerajaan yang ada di Mandar, perwakilan dari tiga Banua Kaiyyang, Lalikang Tallu tersebut, tidak hadir dalam pertemuan itu sebagai sebuah sikap politik terhadap perhelatan politik yang sedang berkembang di Mandar ketika itu.

Hal ini dikuatkan oleh syair Sengo Sengo dari Ulunna Salu yang memuat berbagai pesan-pesan moral yang sangat sarat dengan muatan nilai-nilai sejarah yang mengisahkan tentang manusia Ulu Salu hingga persebaran kebudayaannya yang mengalir jauh bagai air dimana-mana kini. Untuk lebih lengkapnya simaklah salah satu peragraf kutipan sair Sengo Sengo berikut ini :

..... Salumakkku boroti banua sara
Ianna tandu' masadi' indona Rante Bulahang
Ianna tandu' kalua di Mala'bo
Mantoa sodangang sepu di Mamasa
Passundangannga' ballo papak
Ulumanda' tampaliu Besoanging
Kondo la'bo Taramana', lita samballa dua ala, ia samboa Sendana.
Boyang panda' Bulo-bulo, Bualaenna Balanipa,
Ditanang lalikang tallu di Malunda' dianna balangallante
di ba'ba Ta'ang.
Lamatambulubassi di Tampalang, nene takara batu di Simboro'
Disambo kasa mapute di Dungkai, kombommi batu Bulahang
Sinyoi-nyoi makkedaeng di Mamuju, Kalumpang di Palako - di Keang
Salu-salukku', salu ummi candunia, tuka' tembang mata allo
Ke'de lenggang tabulahang, urunaita dongkongngi' Tabulahang,
Diesungngi talabemme, didongi tapanallangang .....
Secara umum isi Sengo Sengo di atas dpat dipahami dan ditafsir sebagai sebuah pesan-pesan peneneang (para leluhur) di Ulu Salu. Dan di dalam syair tersebut dijelaskan satu persatu dimana saja wilayah persebaran Ulunna Salu, termasuk di Babana Binanga sekalipun, yang berbunyi antara lain misalnya : ... Ditanang Lalikang Tallu di Malunda, dianna ballangang Lante di Ba'ba Taang...
dan seterusnya.

Karena perkembangan kebudayaan manusia mengalir begitu cepat dan meluas, maka masa dan situasi pun dari waktu ke waktu berganti, hingga akkhirnya sampai pada periode dan masa pemerintahan Kolonial Belanda. Lewat agresi dan refresi militer yang sangat keras, wilayah-wilayah Mandar secara umum, lambat laun akhirnya dapat dikuasai secara politik oleh Belanda dengan merubah berbagai sistem dan tatanan sosial, terutama dalam sistem pemerintahannya, dengan membagi-bagi wilayah Mandar (begitupun di wilayah lain di nusantara saat itu) ke dalam bentuk afdeling yang akhirnya dikenal dengan istilah wilayah Afdeling Mandar yang meliputi Paku hingga Suremana; sebagaimana wilayah administrasi persekutuan kerajaan-kerajaan yang ada di pesisir, Pitu Babana Binanga (Tujuh Muara Sungai) di Mandar saat itu. Dan secara khusus di wilayah Tallu Banua Kaiyyang (Tiga Banua Kaiyyang), Lombang, Malunda dan Mekkatta, diangkatlah Puatta Malunda untuk menjalankan pemerintah di Malunda.

Dalam perkembangan sejarah kebudayaan Malunda pada fase atau abad-abad berikutnya, lebih jauh tentang pembagian wilayah-wilayah yang ada di Malunda pada masa pemerintahan Puatta Malunda yang terdiri atas Appe Indo Banua (Empat Ibu Kampung), masing-masing :

1. Indo Banua Malunda;
memiliki satu Anak Banua (Anak Kampung), yaitu Anak Banua Deking.
Pemerintahannya diurus oleh :
- Maraqdika Malunda
- Baligau Malunda
- Pappuangang Malunda

2. Indo Banua Lombang;
memiliki satu Anak Banua, yaitu Anak Banua Lombang.
Pemerintahannya diurus oleh :
- Tomakaka Indo Lembang
- Tomakaka Indona Rupatau
- Bukunna Litaq

3. Indo Banua Mekkatta;
terdiri dari tiga Anak Banua, yaitu :
- Anak Banua Bambangang
- Anak Banua Kajuanging
- Anak Banua Salu Tahongang
Pemerintahannya diurus oleh :
- Maraqdika Mekkatta
- Baligau Tamaindung
- Pappuangang Mekkatta

4. Indo Banua Lombong;
terdiri dari tiga Anak Banua, yaitu :
- Anak Banua Tanisi
- Anak Banua Mosso
- Anak Banua Pettawean
Pemerintahannya diurus oleh :
- Puatta Lombong (berubah menjadi Puatta Malunda, di masa dan setelah penjajahan Belanda)
- Baligau Lombong
- Pappuangang Pettaweang

Kemudian sistem pemerintahan di Lita Malunda (Tanah Malunda), masing-masing Anak Banua mengurusi rumah tangganya sendiri sebagai bagian dari Indo Banua. Dan dalam menyelenggarakan pemerintahannya, di setiap Anak Banua terdapat Pappuangan dan Suro (staf pemerintahan) sebagai pelaksana pemerintahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar