Selasa, 15 Maret 2016

Zaman Sejarah Mandar

Zaman Sejarah Mandar

http://ragamsulawesibarat.blogspot.co.idDalam sejarah perkembangan di Mandar, dibagi atas 2 (dua) zaman ,yaitu Zaman pra-sejarah dan Zaman sejarah. Zaman pra-sejarah adalah zaman ketika belum di temukan bukti-bukti tertulis, catatan-catatan dan sebagainya. Zaman ini meliputi Zaman batu tua, Zaman batu pertengahan dan Zaman batu baru.

Adapun Zaman Sejarah adalah zaman yang bukti-bukti tertulis sudah di temukan oleh para peneliti ataupun oleh para sejarawan dan budayawan. Zaman sejarah ini dibagi ke dalam beberapa zaman seiring dengan waktu yang dilaluinya, sehingga dalam penulisan ini disebut 6 (enam) zaman, yaitu:
- Zaman Prasejarah dan Zaman Sejarah,
- Zaman Tomakaka,
- Zaman Mara’dia,
- Zaman Penjajahan,
- Zaman perjuangan merebut kemerdekaan,
- dan Zaman sekarang,

Zaman sekarang ini adalah tanggung jawab kita bersama untuk memberikan pemahaman kepada generasi selanjutnya sebagai zaman yang akan datang .
Pada bulan Mei 1933 diadakan penggalian oleh A.A.Cense di daerah Sampaga tepatnya di lembah sungai Karama, Kabupaten Mamuju dan menemukan beberapa peralatan pra-sejarah yaitu batu dan gerabah. Kegiatan tersebut kemudian di lanjutkan oleh PV Van Callenfels dengan menggali di bagian timur bukit Kamassi, dan menemukan alat-alat berupa: Pisau, kapak batu, kapak batu segi empat, mata panah yang halus, dan pecahan-pecahan tembikar yang berdekorasi. Penggalian tersebut di laksanakan pada tanggal Z5 September 1933 sampai 17 Oktober 1933.

Penggalian kedua di lakukan oleh Dr. HR. Van Hee Karem dari tanggal 23 Agustus sampai September 1949 di bagian selatan puncak kamasi, 13 meter di atas permukaan sungai. Penggalian itu menemukan alat-alat batu, seperti kapak batu yang ada kesamaannya dengan alat Neolithic di Luzon (philipina), Manchuria (Mongolia), Hongkong dan sebagainya. Juga di temukan gerabah yang berhias. Gerabah yang berhias di nilai oleh para arkeolog mempunyai corak yang tinggi dengan desain halus memberikan pertanda bahwa kebudayaan di daerah Kalumpang di kembangkan oleh masyarakat yang telah teratur sifatnya. Kebudayaan yang terlingkup dalam satu wilayah Sa Huynh Kalanay, yaitu wilayah yang meliputi daerah Cina, Philipina, Vietnam dan beberapa daerah di kawasan pasifik.

Di daerah Sampaga atau kurang lebih 10 km dari muara sungai Karama, masuk ke pedalaman Sekendeng, Amiruddin Maulana ,tokoh pendidik di Kabupaten Majene, menemukan patung Budha perunggu. Oleh Dr.FDK Bosch, setelah membandingkan patung-patung Budha yang ada di Jawa tengah (Borobudur), Palembang, patung Hindu Jawa,dan Hindu Sumatera, memberikan kesimpulan bahwa gaya patung tersebut mempunyai ciri khas tersendiri. Setelah membandingkan dengan patung Budha dari Sholok, Jambi, kota bangun, Kalimantan barat, Gunung lawu, Jawa tengah, Bosch juga menyimpulkan bahwa palung yang di temukan tersebut tidak mempunyai kesamaan.

Oleh karena tidak ada kesamaan yang dapat di temukan di Indonesia, maka perbandingan dengan patung-patung Budha yang ada di India, Muka dan Gandara, di lakukan. Dan kesimpulannya adalah bahwa patung tersebut di pengaruhi oleh gaya Budha Greeco di mana gaya ini juga terdapat di India Selatan, tepatnya aliran kesenian Amarawati. Aliran ini sangat besar pengaruhnya ke kawasan Asia Tenggara pada abad 2-7 M.

Dikuatkan dengan penemuan berbagai kecek perunggu, kancing yang di gunakan sebagai pengusir roh-roh jahat bagi dukun sewaktu upacara kelahiran bayi memperlihatkan juga adanya kesamaan dengan genta-genta perunggu dari India selatan. Dari sejarah India selatan telah di ketahui bahwa Dinasti Catawahana dalam memerintah terkenal sebagai penganut kuat agama Budha aliran hinayana sewaktu abad ke-Z M dan selanjutnya tersebar ke kawasan Asia tenggara.

Pada perkembangan Catawahana, sangat memperlihatkan aktivitas-aktivitas di bidang Maritim dan aliran Budha Hinayana melebarkan sayapnya ke Asia Tenggara dengan melalui perdagangan laut dan penyebaran terjadi pada abad ke-2 M, Dari berbagai penemuan-penemuan di alas, Salahuddin Mahmud seorang peneliti Mandar, menyimpulkan bahwa di daerah Kalumpang pernah terdapat sebuah kerajaan yang telah menjalani hubungan dengan daerah luar adapun pelabuhannya terdapat di Sekendeng, Hal tersebut di perkuat dengan memperhatikan letak muara sungai Karama yang berhadapan dengan muara sungai Mahakam di pulau Kalimantan, yang juga banyak di layari untuk memasuki daerah pedalaman Kalimantan. Adapun di hulu sungai Mahakam terdapat kerajaan Kutai yang sangat termasuk pada abad ke-4 M. Dengan demikian ke-rajaan di Kalumpang tersebut merupakan kerajaan yang tertua di daerah Mandar. Di duga kerajaan-kerajaan yang terdapat di Kalumpang berpindah ke pegunungan, tepatnya ke Toraja atau ke Luwu berhubungan dengan adanya invansi Militer dari luar atau adanya wabah penyakit yang menyerang daerah tersebut.

Perpindahan tersebut di buktikan dengan berlanjutnya desain dari corak ukiran yang tinggi nilai seninya yang masih di lanjutkan tradisinya oleh masyarakat Toraja dewasa ini. Sebagaimana cerita yang umum berkembang di masyarakat Indonesia mengenai asal usul nenek moyang mereka, di Mandar juga di kenal dengan orang yang turun dari kayangan yang akan memimpin manusia di muka bumi yang dikenal sebagai Tomanurung. Menjelmanya Tomanurung di atas muka bumi, menurut legenda dan mitos, adalah muncul dari belahan bambu (tobisse di tallang) ada juga turunan Bidadari yang tertawan di bumi karena di intip oleh pangeran yang kemudian menyembunyikan sayapnya. Selain itu ada juga Tomanurung yang menjelma dan meniti di atas buih aliran sungai (tokombong di bura) ada yang di hempaskan dari perut ikan hiu dan menjelma menjadi manusia (tonisesse di tingalor atau tobisse diare bau). Semua mitos-mitos tersebut di anggap keturunan pertama atau cikal bakal penguasa yang ada di daerah Mandar.

Adapun yang menyebabkan Zaman Tomanurung tidak di masukkan sebagai Salah satu periode dalam Zaman sejarah Mandar adalah karena Tomanurung itu sendiri masih tanda Tanya atau dengan kata lain adalah sebuah legenda dan mitos, walaupun cerita mengenai Tomanurung terdapat pula dalam beberapa lontar Mandar. Tetapi jika ada, maka Zaman Tomanurung di masukkan ke dalam periode Zaman Pra-sejarah dan di anggap berakhir pada waktu di mulainya pencatatan-pencatatan yang teratur dan berlanjut, atau ketika mulai berdirinya kerajaan-kerajaan di daerah tersebut (pitu ulunna salu anna pitu ba’ bana binanga), akan tetapi mitos dalam kegiatan kehidupan selanjutnya tetap berkembang dan menjadi sebuah kepercayaan dari akulturasi budaya Mandar dengan budaya Islam.


Zaman Tomakaka
Setelah Zaman pra sejarah berakhir, tampil masa kepemimpinan yang di sebut Tomakaka yang berasal dari keturunan Todipali yang tinggal menetap di Balanipa (waktu itu belum bernama Balanipa) dan Lamber Susu (Buah dada panjang) yang tinggal menetap di Kalumpang Mamuju keduanya adalah cucu Pangkopadang selaku cikal bakal orang Mandar. Todipali kemudian melahirkan Tomakaka yang diantaranya bernama Tomaka/fa Dilemo dan Tomakaka Dipoyosang , sedangkan Lamber Susu kemudian melahirkan 41 (empat puluh satu) Tomakaka yang kembali menyebar keberbagai penjuru dalam kawasan Mandar ,dan Tama/(aka adalah pimpinan persekutuan hukum yang timbul dan berdiri sendiri-sendiri pada zaman jauh sebelum adanya Todilaling. Yaitu mulai dari Tobanua posi' sampai kepada ayah Todilaling bergelar Puang di Gandang.

Pada umumnya Tomakaka bersifat local, belum dapat di ketahui dengan pasti kapan mulai munculnya, hanya dapat di duga yaitu belum Zaman Lagaligo. Dalam perkembangannya , Tomakaka berkembang khusus di daerah pantai yang kemudian hilang setelah tampilnya Mara’dia pertama di Balanipa , yaitu Imanyambungi yang kemudian bergelar Todilaling. Adapun di kerajaan pegunnungan, makaka terus berkembang. Tomakaka di bedakan atas:
1) tomakaka tomatindo, dapat di angkat menjadi adat (pattola); dan 2
) Tomakaka Barang (orang yang berada).
Sebenarnya arti perkataan tomakaka yang berasal dari kata Maka yaitu mampu atau berkemampuan dan dapat pula dikatakan sebagai yang di tuakan. di walupun wilayah Tomakaka itu kecil dan penduduknya yang sedikit , namun Tomakaka tetap mempunyai kedaulatan penuh ke dalam dan keluar. Kerajaan kuat kalau Tomakaka berani membela rakyatnya, Bijaksana, menyelesaikan persoalan-persoalan internal dan eksternal.

Tomakaka juga dapat disandang bagi mereka yang memiliki kesaktian dan kedigjayaan namun berbuat sewenang-wenang dan tidak dapat menjadi panutan dan oleh masyarakat berupaya untuk menyingkirkannya. Daerah pemerintah Tomakaka di pertahankan dengan perlindungan benteng dari batang-batang bambu yang tinggi untuk menghindari serangan-serangan dari daerah luar.

Menurut Bestuurmemorie yang di tulis oleh seorang asisten (Bupati) Residen Mandar, WJ Leydes menyatakan bahwa terdapat kerajaan-kerajaan kecil yang di kepalai oleh seorang tomakaka. Tomakaka yang pertama bertempat tinggal di Ulu Sa’dang, menurut lontara Mohammad, bekas kepala Laumase, tetapi ia tidak menyebut nama Tomakaka tersebut. Lontara lain mengatakan bahwa nama Tomakaka pertama tersebut adalah Tomakaka Pullaomesa.

Setelah berkembang berbentuk Kerajaan kecil, Tomakaka tersebut masing-masing berdiri sendiri, berdaulat, dan saling menyerang dan yang paling terkenal adalah Tomakaka Passokkorang. Lokasinya berada di seputaran Sungai Maloso atau dekat Mambu sekarang (kecamatan Mapilli). Yang berhasil di bumi hanguskan oleh Tomepayung dan setelah hilangnya Tomakaka di Ba`bana Binanga yang digantikan oleh zaman Mara`dia yang selanjutnya merupakan babak baru dalam perkembangan sejarah di Mandar,hingga masuk pada Zaman Mara`dia (kerajaan)

Zaman Mara’dia

Setelah berakhirnya Zaman Tomakaka maka muncul bergelar Todilaling Imanyambungi sebagai Mara`dia (Raja) pertama di Balanipa yang kemudian dilanjutkan dengan putranya bernama Billa Billami bergelar Tomepayung yang menjadi pemrakarsa Zaman Mara’dia di Mandar yang tandai dengan tampilnya pemimpin yang disebut Mara’dia di Mandar yang terdiri dari Pitu Ba`bana Binanga dan Pitu Ulunna Salu, dan adapun yang menjadi mara’dia pertama di Pilu Ba’bana Binanga adalah :
1. Imanyambungi yang kemudian bergelar Todilaling sebagai mara`dia (Raja) pertama di Balanipa dan di seluruh mandar jumlah di kerajaan Balanipa sampai dibentuknya negara kesatuan Republik Indonesia adalah 45 Raja dari 53 masa priode
2. Puatta Iku’bur yang menjadi Mara'dia pertama di kerajaan Sendana
3. Daeng Tammelanto yang menjadi Mara`dia pertama di Banggae
4. Puatta Ikaramang yang menjadi Mara’dia pertama d, Tappalang
5. Tomellake Bulawang yang menjadi mara`dia pertama d, Pamboang
6. Tammajinnang yang menjadi Mara’dia pertama di Mamuju
7. Appona Tokombong di Bura yang menjadi Mara’dia yang juga disebut Aruang pertama di Binuang

Sedangkan dari Pitu Ulunna Salu yang menjadi raja pertama namun tidak menggunakan kata atau gelar raja sebagai Mara`dia ,akan tetapi menggunakan istilah sesuai dengan dialek bahasa sebagai sub kelompok Ulu Salu atau Ulu Manda dari bahasa Mandar yang terdiri dari :
1, Nene' Tomampu alias Londo Dehata yang bergelar Indo Lembang raja pertama kerajaan Rantebulahan
Z. Mahimbang sebagai indo kadanene’ raja pertama kerajaan Aralle ‘
3. Tamming sebagai Bu`buanna Kadanene’ raja pertama dari bambang
4. Rambulangi sebagai talao rapanna kadanene’ indo lita' petaha mana' pa’isa parandangan raja pertama dari Tabulahan
5. Tala'bina sebagai lantang kadanene' raja pertama dari Mambi
6. Tajoang sebagai Andiri tangtempo’na kadanene` raja pertama dari Matangnga
7. Sabulima sebagai Bubunganna kadanene' raja pertama dari Tabang

Dengan hadirnya Raja-raja tersebut di atas yang berjumlah empat belas lalu ditambah dengan Raja-raja mara`dia) dari beberapa wilayah Otonom yang ada dalam masing-masing kerajaan yang mangakibatkan Zaman Tomakaka berangsur-angsur hilang, Lokasi makan Todilaling yang terdapat di Desa Napo (Lepuang).

Dikutip dari Buku Jelajah Situs Sejarah dan Cagar Budaya di Mandar (hal.5),

Tidak ada komentar:

Posting Komentar