Rabu, 02 Maret 2016

Posts Tagged ‘budaya mandar’

Posts Tagged ‘budaya mandar’

Sayyang Pattudu dan Budaya Mandar

Maret 3 03 2016 Mendengar kata ondel-ondel, pikiran teman-teman pasti tertuju pada sebuah kekayaan budaya Betawi di Jakarta. Tapi apa bila teman-teman mendengar kata to messawe, saya yakin hampir semua akan bertanya-tanya apa itu. Bahkan mungkin masih banyak di antara kita semua yang belum tahu bahwa di Indonesia ada sebuah suku yang bernama mandar. Sebagai warga negara Indonesia yang baik. Kita harus tetap melestarikan kekayaan budaya kita, minimal memperkenalkan budaya daerah kita kepada orang-orang disekitar kita. Inilah yang menjadi alasan yang kuat bagi saya untuk memperkenalkan budaya Mandar.
Mandar adalah salah satu etnik terbesar di Sulawesi selain suku Bugis. Selain di Sulawesi Barat, etnik Mandar juga tersebar di Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Tidak jauh berbeda berbeda dengan suku tetangganya yaitu Bugis, suku Mandar juga terkenal sebagai suku yang tangguh di laut. Tidak heran jika mata pencaharian utama penduduknya adalah sebagai nelayan.
Sama seperti suku-suku lainnya di Indonesia, suku Mandar juga memiliki kebudayaan yang tidak kalah menariknya. Mulai dari segi tata cara pemerintahan, makanan, pakaian, perayaan hari besar, upacara sakral, dan masih banyak lagi. Tapi pada kesempatan ini penulis hanya akan membahas mengenai budaya Mandar dari segi sistem pemeritahan di masa lalu dan budaya perayaan atau syukuran atas khatamnya (tamat) seorang anak dalam membaca Al-quran atau lebih dikenal dengan acara to messawe, walau kadang ada juga yang menyebutnya sebagai sayyang pattudu.
Kadang orang menyebutkan bahwa budaya Mandar adalah budaya yang progresif. Tentunya pembaca bertanya-tanya dimana progresifnya budaya mandar? Ini pembaca bisa lihat dari Ketika hampir semua kerajaan atau pusat-pusat kekuasaan nusantara di masa lalu mempraktekkan sistim kekuasaan absolut, despot dan otoriter, di Mandar, Todilaling ( Raja pertama Balanipa ) telah mempraktekkan sistem Demokrasi, hal ini dibuktikan dengan ucapannya yang terkenal “ Patondo saliwangi baromu, patondo tamai barona to mae’di’ ( Tempatkan kepentinganmu disebelah luar dan kepentingan orang banyak disebelah dalam ). Dan sikap demokratis ini tentu saja telah jadi Role Model bagi raja-raja dan rakyat Mandar sepeninggalnya.
Selain itu, ketika perempuan di tempat-tempat lain di Indonesia masih terbelenggu budaya Patriarki yang ketat, dimana wanita hanya dijadikan pasangan hidup dengan peran domestik yang terbatas, di Mandar wanita telah setara dengan laki-laki baik di rumah maupun di lingkungan masyarakat. Ini dibuktikan dengan sebuah budaya dalam keluarga mandar yaitu sibaliparri (emansifatif). Sebgai bukti dari sibaliparri ini, jika nelayan (laki-laki) telah sampai di pantai dari menangkap ikan, maka selesailah tugasnya. Selanjutnya tugas sang istrilah untuk mengelola ikan tersebut, baik itu memasaknya, mengeringkan atau menjualnya ke pasar.
Selanjutnya yaitu sayyang pattudu (kuda menari) atau kadang orang menyebutnya sebgai to messawe (orang yang mengendarai) merupakan acara yang diadakan dalam rangka untuk mensyukuri anak-anak yang khatam (tamat) Alquran. Bagi suku Mandar di Sulawesi Barat tamat Alquran adalah sesuatu yang sangat istimewa, dan perlu disyukuri secara khusus dengan mengadakan pesta adat sayyang pattudu. Pesta ini diadakan sekali dalam setahun, biasanya bertepatan dengan bulan Maulid/Rabiul Awwal (kalender hijriyah). Dalam pesta tersebut menampilkan atraksi kuda berhias yang menari sembari ditunggangi anak-anak yang sedang mengikuti acara tersebut.
Bagi masyarakat Mandar, khatam Alquran dan upacara adat sayyang pattudu memiliki pertalian yang sangat erat antara yang satu dengan yang lainnya. Acara ini mereka tetap lestarikan dengan baik. Bahkan masyarakat suku mandar yang berdiam di luar Sulawesi Barat akan kembali kekampung halamannya demi mengikuti acara tersebut. Penyelenggaraan acara ini sudah berlangsung lama, tapi tidak ada yang tahu pasti kapan acara ini diadakan pertama kali. Jejak sejarah yang menunjukkan awal pelaksanaan dari kegiatan ini belum terdeteksi oleh para tokoh masyarakat dan para sejarawan.
Keistimewaan dari acara ini adalah ketika puncak acara khatam Al-Quran dengan menggelar pesta adat Sayyang Pattudu dengan daya tarik tersendiri. Acara ini dimeriahkan dengan arak-arakan kuda mengelilingi desa yang dikendarai oleh anak-anak yang khatam Alquran. Setiap anak mengendarai kuda yang sudah dihias dengan sedemikian rupa.
Kuda-kuda tersebut juga terlatih untuk mengikuti irama pesta dan mampu berjalan sembari menari mengikuti iringan musik tabuhan rebana, dan untaian pantun khas Mandar (kalinda’da’) yang mengiringi arak-arakan tersebut.

Ketika duduk diatas kuda, para peserta yang ikut pesta Sayyang Pattudu harus mengikuti tata atur baku yang berlaku secara turun temurun. Dalam Sayyang Pattudu, para peserta duduk dengan satu kaki ditekuk kebelakang, lutut menghadap kedepan, sementara satu kaki yang lainnya terlipat dengan lutut dihadapkan keatas dan telapak kaki berpijak pada punggung Kuda. Dengan posisi seperti itu, para peserta didampingi agar keseimbangannya terpelihara ketika kuda yang ditunggangi menari.
Peserta sayyang pattudu akan mengikuti irama liukan kuda yang menari dengan mengangkat setengah badannya keatas sembari menggoyang-goyangkan kaki dan menggeleng-gelengkan kepala agar tercipta gerakan yang menawan dan harmonis.
Ketika acara sedang berjalan dengan meriah, tuan rumah dan kaum perempuan sibuk menyiapkan aneka hidangan dan kue-kue yang akan dibagikan kepada para tamu. Ruang tamu dipenuhi dengan aneka hidangan yang tersaji diatas baki yang siap memanjakan selera para tamu yang datang pada acara tersebut.

Rangkaian acara tahunan ini, diikuti oleh sekitar ratusan lebih orang peserta tiap tahunnya, para peserta terhimpun dari berbagai kampung yang ada di desa tersebut, diantara para peserta ada juga yang datang dari desa atau kampung sebelah. Bahkan ada yang datang dari luar kabupaten,maupun luar provinsi Sulawesi Barat.
Pelaksanaan kegiatan ini biasanya di adakan massal di setiap desa atau kecamatan, bahkan terkadang ada yang mengadakannya secara sendiri-sendiri.

Itulah beberapa budaya Mandar dan salah satu kekayaan budaya nusantara kita. Yang patut kita jaga dan tetap lestrikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar