Zaman Prasejarah
Oleh: KKBM SUL-BAR
Seperti
yang ditulis Muh. Ridwan Alimuddin (2003), menjelaskan bahwa,
pembahagian yang pertama adalah, zaman prasejarah atau zaman yang
meliputi zaman batu tua, zaman batu pertengahan dan zaman batu baru.
Yang jika diurai penelusurannya, dapat dimulai sejak, adanya penggalian
daerah Sampaga pada bulan Mei 1933 di Lembah Sungai Karama Kabupaten
Mamuju yang menemukan beberapa peralatan prasejarah seperti batu dan
gerabah. Yang lalu kemudian dilanjutkan dengan dua kali penelitian di
tempat yang sama di Bukit Kamassi’ yang menemukan alat-alat seperti
pisau, kapak batu, kapak batu segi empat mata panah yang halus, beserta
pecah-pecahan tendiker yang berukir.
Penggalian pertamanya sendiri
dilakukan oleh PV. Van Callenvels pada tahun 1933 di bagian tikur
sedangkan penelitian yang kedua dilakukan oleh Dr. HR. Van Hee Karem
1949 menemukan alat-alat batu, seperti kapak batu, yang ada kemiripannya
dengan Neolithic di Luzon (Philipina), Manchuria (Mongolia), Hongkong
dan sebagainya. Penelitian yang dilakukan di bagian selatan puncak
Magassi’ ini juga ditemukan gerabah berhiasyang dinilai oleh para
arkeolog telah menunjukkan keteraturan kebudayaan di daerah Kalumpang
Kabupaten Mamuju ini terlingkup dalam satu wilayah Sa-huynh Kalanay,
Philipina, Vietnam dan beberapa daerah di kawasan Pasifik.
Hal
berikutnya juga pernah dilakukan oleh Dr. FDK Bosch yang mencoba
membandingkan hasil temuan Amiruddin Maula salah seorang tokoh pendidik
di Kabupaten Majene yang menemukan Patung dan dibandingkannya dengan
patung Budha dari Solok Sumatera Barat, Kotabangun Jambi, Kalimantan
Barat, Gunung Lawu, Jawa Tengah, kesimpulannya, tidak ada satupun
kemiripan atasnya. Dan setelah dibandingkan dengan patung budha yang ada
di India, Muka dan Gandhara, kesimpulannya kemudian bahwa patung
tersebut dipengaruhi oleh gay dan kemiripan dengan Budha Greeco yang ada
di India Selatan yang beraliran kesenian Amarawati yang juga sangat
besar pengaruhnya di kawasan Asia Tenggara pada abad ke-2 dan 7 Masehi.
(ibid).
Dari sini kemudian dapat diterjemahkan bahwa keberadaan
Manusia pertama di Mandar sesungguhnya telah lama ada. Hal itu dikuatkan
oleh hitungan abad yang menjadi dasar dan pertimbangan atas
temuan-temuan tersebut diatas. Yang kemudian diperkuat lagi oleh hasil
penelitan yang konon pernah dilakukan HR Van Heekern bahwa kapak-kapak
pembias yang ditemukan di Indonesia ada kemiripan dengan yang ditemukan
di Yunan dan Tongkin (Tiongkok Selatan). Hal ini menguatkan pemahaman
dan lalu melahirkan kesimpulan bahwa, orang-orang Austronesia
sesungguhnya berasal dari Yunan dan Tongkin dan masuk ke Indonesia sejak
1000 tahun yang lalu. (ibid).
Beranjak dari pengertian diatas ini,
hal yang juga mungkin ada baiknya jika di ungkap adalah, tentang
pandangan lain yang menjelaskan bahwa orang Sulawesi Selatan-termasuk
Mandar-pada umumnya berasal dari ras Mongoloid yang masuk melalui jalur
Philipina, lalu menyeberang ke Sulawesi dengan jalan menyusuri Selat
Makassar dan merapat di pesisiran Barat Pulau Sulawesi. Konon seperti
dikisahkan pula bahwa, kedatangan mereka pertama kali secara berkelompok
dan bertahap. Awalnya tinggal dan berdiam didaratan dekat pesisiran,
lalu dengan perlahan mereka lalu masuk gunung dan tinggal di gua-gua,
hidup berburu dan mengembara di hutan-hutan. Ibrahim Abbas (1999).
Mandar seperti halnya komunitas tradisoinal dan klasik lainnya yang juga
mengalami kekaburan mata rantai sejarahnya, kalau tidak kasar disebut
sebagai keterputusan pintalan sejarah. Hal mana lebih di akibatkan oleh
adanya kepercayaan bahwa kelahiran manusia pertama di Mandar lahir dan
turun secara sporadis dari khayangan atau turun dari langit (manusia
langit-pen), seperti di beberapa daerah lainnya di Indonesia. Hal itu
ditandai dengan adanya To Manurung yang konon adalah manusia pertama di
Mandar. Lahir dari belahan bambu atau yang lebih dikenal dengan To Wisse
di Tallang. Atau yang lahir dan miniti dari atas buih air laut yang
dikenal dengan To Kombong di Bura atau yang terbuang dari perut ikan hiu
yang dikenal dengan Tonisesse di Tingalor. Hal ini tentu sulit untuk
dapat dipertanggung jawabkan secara ilmia. Namun itulah realitas
kesejarahan yang lalu melegenda dan di yakini adanya oleh sebagian besar
masyarakat Mandar, dan Konon termaktub dalam lontar (naskah lokal-pen).
Lebih jauh dari itu, To Manurung inilah kemudian yang juga di yakini
menjadi cikal keturunan manusia pertama dan penguasa pertama di Tanah
Mandar.
Sampai di sini juga ada pemahaman, masih mengutip lontar
Mandar, bahwa sekitar tahun 1190 M atau abad 12 muncul sepasang manusia
yang kemudian bergelar To Manurung di hulu Sungai Sa’ dang. Namun karena
terjadi peperangan antara komunitas masyarakat pendatang dan komunitas
masyarakat asli yang membuat salah satu komunitas masyarakat itu
kemudian terdesat itu.
Namun versi lain juga ada yang menyebutkan
bahwa awal muasal manusia Mandar adalah Pongkapadang yang merupakan
turunan dari Tobisse di Tallang dan Tokombong di Bura yang lalu
melahirkan 7 anak di hulu Sungai Sa’ dang yang kemudian menyebar di
berbagai daerah di Sulawesi Selatan. Salah satu diantara adalah
Pongkapadang yang kemudian menurut penuturan sejarah memilih berdiam di
Tabulahan dan menikahi seorang gadis yang kemudian dikenal bernama
Torije’ne. Kedua pasangan ini kemudian beranak pinak yang kemudian di
percaya menjadi pemimpin di beberapa kerajaan di Mandar. Sekitar abad
ke-11 M. Sarman Sahudding (2004).
Belum lagi apa yang disebutkan oleh
DR. Edward L. Poelinggomang, M.A. (2004), yang menuliskan bahwa manusia
pertama Mandar, seperti yang ada dalam Lontar seperti yang dikutip
Salahhuddin Mahmud (1984) adalah, mendarat dan menetap di daerah hulu
Sungai Sadang. Keterangan ini menurutnya DR. Edwar L. Poelinggomang,
M.A. dapat diterjemahkan bahwa, pemungkiman di daerah ini telah terjadi
jauh sebelum terjadinya penurunan permukaan laut (masa glasial). Lalu
kemudian karena bencana alam, wabah penyakit, persoalan adat dan sistem
kekuasaan yang membuat mereka berpindah dan membuat pemukiman baru.
Disamping
itu, mengenai manusia pertama Mandar seakan telah pula ada kesepakatan
bahwa manusia pertama itu adalah Tomanurung, dimana diterjemahkan
sebagai tokoh pemula pemukiman yang kemudian tersebar kebeberapa daerah.
(ibid).
Dari uraian diatas, jelas menunjukkan kesipangsiuran sejarah
yang sungguh akan membingungkan. Namun tetap mesti dicatat, sebab
penyaksian atas kejadian-kejadian yang terjadi dan diyakini adalah
realitas kesejarahan yang juga bertumpuk pada alasan-alasan historis
yang memang susah di tampik. Kendati memang, setiap orang yang akan
melakukan pendalaman atas zaman prasejarah di Mandar akan mengalami
kesulitan-kesulitan, bahkan kebuntuan.
Utamanya diakibatkan belum
adanya kesepakatan antara peneliti dan para pelaku sejarah dan
kebudayaan yang koncern terhadap Mandar atas zaman dan periodisasi
prasejah di Mandar. Sementara satu sisi realitas-realitas pemahaman
historis tersebut tetap hidup berkembang hingga kini di masyarakatnya.
Maka
menarik apa yang diungkap oleh Mundarjito (1982) bahwa tidak semua
pikiran manusia dapat diwujudkan kedalam tingka laku lahiriah. Sama
seperti bahwa, tidak semua bahwa hasil budaya (sebagai fossilized
behavior) mencerminkan mental template (deetz) dari seluruh pikiran dan
tingkah laku manusia yang sanggup terekam dalam wujud benda budaya. Yang
ada hanyalah sebagian kecil saja, dari sekian banyak benda budaya yang
dapat selamat hingga kini. Sebagian besar rusak, sebagian besar hilang.
Sedangkan sebagian besar lainnya masih berada di tanah dan dalam air.
Bahkan
lebih jauh Rathje dan Schiffer, (1980) menyebutkan kendati benda
bertulisan, yang itupun kalau diketemukan, telah memuat pikiran manusia
dan masyarakat. Tetapi tidak lantas dapat dikatakan telah menjangkau
semua asfek kehidupan semua golongan masyarakat masa lalu. Sebab bisa
saja ada belum tentu mengandung kebenaran sepenuhnya. Hal ini
dikarenakan kemungkinan adanya bias dari penulis masa lalu atau peneliti
masa kini. Dari pandangan ini dapat disimpulkan bahwa kian abstrak
sasaran studi, maka akan kian menajam pula metodologi yang mesti
digunakan. Atau makin jauh masa-masa yang ingin dipelajari, maka makin
sukar pula mengurangi kesenjangan-kesenjangan di dalamnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar