Zaman dan Sejarah Kerajaan di Mandar
Oleh: KKBM SULBAR PPNP
Memulai
penelusuran sejarah kerajaan pertama di Mandar mungkin bisa mengambil
dan membandingkan dengan tatanan kerajaan lainnya. Yang selalu beranjak
dari adanya manusia pertama, yang lalu kemudian berlanjut kepada
mobilitas dinamis penduduk yang melahirkan arus perpindahan. Perpindahan
masyarakat inilah kemudian yang melahirkan arus pendatang ke suatu
komunitas mesyarakat tertentu. Kemudian berlanjut pada masa lalu lintas
kepentingan dalam masyarakat tertentu. Kemudian berlanjut pada lalu
lintas kepentingan dalam masyarakat heterogen. Sehingga terkadang akut
memicu komplik dan peperangan diantara mereka. Sebagai konsekwensi logis
dari kian memadatnya lalu lintas kepentingan dalam masyarakat pendatang
dengan masyarakat yang didatangi. Dari peperangan ini pula kemudian
melahirkan para pemimpin atau penguasa kerajaan-kerajaan lokal tersebut.
Tetapi tentu pemahaman ini tidak lantas serta merta akan digunakan
secara serampangan. Sebab apapun alasannya, penelusurannya tentu
didasarkan pada fakta-fakta sejarah yang ada di masyarakat tersebut.
Paling tidak melihat apa yang dipahami dan diyakini ada dan terjadi pada
komunitas masyarakat yang berdiam diwilayah tersebut.
Di Mandar
seperti cerita yang berkembang dan dipahami, termasuk yang ada didalam
lontar seperti yang ditulis Ibrahim Abbas (1999) bahwa kerajaan pertama
di Mandar muncul secara spontan dari langit (manusia langit-pen). Hal
itu menilik pada dikenalnya seorang sosok yang bernama To Manurung di
hulu Sungai Sa’dang pada abad ke-12 atau sekitar tahun 1190 M.
Kemudian
terjadi peperangan karena adanya komunitas pendatang yang melakukan
perlawanan atas mereka. Sampai disini dipahami bahwa cikal bakal
kerajaan muncul pada saat itu, dimana To Manurung kemudian menjadi Raja
pertama di hulu Sungai Sa’dang.
To Manurung inilah kemudian yang
melahirkan seorang putra yang bernama To banua Pong. To Banua Pong
kemudian melahirkan lima orang anak yang kemudian tersebar ke beberapa
tempat di Sulawesi Selatan. Yang salah satu diantaranya bernama I
Pa’darang. I Padarang inilah kemudian melahirkan raja-raja di Bone dan
raja-raja di Mandar. Namun seperti yang lalu disahuti oleh A Syaiful
Sinrang setelah melihat beberapa lontar menyebutkan bahwa dari Banua
Pong lahir seorang anak yang menjadi cikal bakal para pendiri kerajaan
di Pitu Ba’bana Binanga dan Pitu Ulunna Salu. Ibrahim Abbas (1999).
Sedang
versi lainnya malah menyebutkan bahwa cikal bakal kerajaan muncul lebih
duluan yakni pada abad ke 11 M. Dari seseorang yang bernama
Pongkapadang yang tak lain adalah anak To Kombong Dibura dan To Bisse
Ditallang di hulu Sungai Sa’dang yang menikah dengan Tori Je’ne. dan
menjadi pemimpin pertama kerajaan di Tabulahan. Sarman Sahudding (2004).
Sementara
itu, Salahuddin Mahmud, seperti yang ditulis Muh. Ridwan Alimuddin
(2003), bahwa kerajaan di Mandar telah ada sejak abad ke empat yang lalu
dikaitkan dengan momentum berdirinya kerajaan Kuta Kertanegara di
Kalimantan Timur. Hal ini dikuatkan oleh adanya pelabuhan yang terdapat
di daerah Sikendeng Kalumpang Kabupaten Mamuju. Belum lagi Muara Sungai
di Karama di Mamuju yang berseberangan keluar dengan Muara Sungai
Mahakam di Kalimantan Timur yang menjadi titik sentral pelayaran sungai
menuju Hulu Sungai Mahakam. Namun karena infasi militer dan wabah
penyakit kerajaan di Mamuju ini kemudian dipisahkan pindah ke Toraja
atau Luwu.
Satu hal yang menarik, utamanya yang ditulis oleh Sarman
Sahuddin dan Ibrahim Abbas sama-sama menyakini bahwa kerajaan pertama di
Mandar berasal dari Hulu Sungai Sa’dang, sementara yang satunya lagi
Muh. Ridwan Alimuddin, justru meyakini bahwa kerajaan pertama dan telah
ada jauh sebelumnya, seperti apa yang dikemukakan oleh beberapa penulis
lainnya. Dimana menurutnya sejarah kerajaan di Mandar dapat ditelusuri
sejak berdirinya kerajaan di Kutai Kertanegara. Hala yang terakhir ini
juga didasarkan pada temuan sejarah yang menunjukkan adanya cikal bakal
kerajaan Mandar di Mamuju kala itu.
Lebih lanjut Muh. Ridwan
Alimuddin menjelaskan, bahwa zaman kerajaan juga dapat ditelusuri sejak
zaman Tomakaka, istilah lain bagi raja atau Mara’dia ketika itu. Pada
era inilah Mandar kala itu dipimpin oleh seorang Tomakaka. Lalu entah
mangkat atau apa, era tomakaka kemudian berakhir, ditandai dengan
munculnya ; Tomakaka Tombara; Tomakaka Tombara ‘sendiri adalah pimpinan
persekutuan hukum yang timbul dan berdiri sendiri-sendiri dalam
komunitas lokal mereka.
Untuk Zaman Tomakaka ini sendiri tidak jelas
benar kapan munculnya. Yang ada hanya dugaan bahwa ia ada sebelum zaman
Lagaligo. Sedang I Lagaligo sendiri, seperti yang ditulis Leonard Y
Andaya (2004), diciptakan di Luwu pada masa Puncak kekuasaannya yakni
pada abad-9.
Dalam perkembangan berikutnya, Tomakaka lalu menjadi
pemimpin di daerah pesisiran yang melenyap setelah tampilnya Mara’dia
atau raja pertama Todilaling. Sementara di wilayah pegunungan Tomakaka
tetap ada walau di wilayah pesisiran zaman Tomakaka sendiri telah
berakhir. Dalam tatanan administratif, Tomakaka sesungguhnya adalah
orang yang dituangkan dalam komunitas lokal, tetapi ia memiliki
kedaulatan penuh kedalam dan keluar komunitas lokalnya. Hal yang dapat
dijadikan acuan dalam menelusuri zaman tomakaka ini juga adalah apa yang
pernah ditulis dalam Bestuurmemorie seorang asisiten Residen Mandar, W.
J. Leyds yang menyebutkan, bahwa sebelum jaman Tidilaling telah
terdapat banyak kerajaan-kerajaan kecil di Mandar yang untuk itu
dikepalai oleh seorang Tomakaka. Seperti Tomakaka yang memimpin di
Pasokkorang yang berada di Luyo atau dekat Mambu.
Namun karena
mendapatkan penyerbuang dari gunung, maupun dari pesisiran Tomakaka di
Pasokkorang ini lalu lenyap, bersamaan dengan hangusnya rumah-rumah
penduduk Sarman Sahuddin (2004).
Sementara itu peta dan agenda
sejarah perjalanan kerajaan Mandar juga tak boleh luput dari sejarah
kerajaan balanipa yang kala itu ditandai dengan hadirnya Todilaling atau
dikenal sebagai Tomayambungi sebagai mara’dia pertama. Yang setelah ia
kembali dari Goa berupaya mempersatukan negri-negri besar atau lebih
dikenal sebagai Appe Banua Kaiyyang (empat kerajaan besar-pen) yang
meliputi, Napo, Mosso, Samasundu dan Todang. Masing-masing daerah itu
juga dipimpin oleh Mara’dia atau raja yang diketahui oleh Tomayambungi.
Dan setelah ia mangkat, lalu digantikan oleh anaknya yang bernama
Tomepayung.
Pada perjalanan kepemimpinan Tomepayung ini lalu dikenal
sebuah nama Puang Dipoyosang atau Puang Limboro sebagai sosok yang
banyak membantu Tomepayung dalam kepemimpinan. Bantuan yang konkret atas
kepemimpinan Tomepayung ini ditunjukkan oleh Puang Limboro dengan
kemampuannya merampung dan mempersatukan beberapa kerajaan diwilayah
Pitu Ba’bana Binanga, seperti kerajaan Sendana, Tappalang, Banggae,
Pamboang dan Mamuju. Lalu membuat persekutuan kekerabatan (konfederasi)
yang kemudian dikenal dengan Annang Ba’bana Binanga (enam kerajaan
pesisir-pen),minus kerajaan Binuang yangdiketahui oleh Tomeyung sebagai
Mara’dia Kedua Balanipa (ibit).
Bertitik tolak dari sinila lalu
kemudian dikenal adanya perjanjian atau Muktamar Tammajara. Yang dalam
banyak catatan menyebutkan, Muktamar atau perjanjian Tamajarra pertama
yang dijelaskan pada abad-15 M. Konon perjanjian ini dilatar belakangi
oleh keinginan untuk menyerang dan menghancurkan Tomakaka Pasokkorang
yang dinilai telah lama mengganggu ketentraman daerah Mandar yang kala
itu belum berbentuk Pitu Ba’bana Binanga.
Sahdan pasca Mukatamar atau
perjanjian Tammajarra pertama itulah, lalu keempat kerajaan ini
menyerang dan memberanggus kerajaan Pasokkorang. Namun Pasokkorang
sendiri sempat malarikan diri ke Sawitto (daerah di Kabupaten
Pinrang-pen). Lalu digelarlah kembali Muktamar Tamajarra ke dua yang
juga digelar di Balanipa dan masih diketua oleh Tomepayung dan sudah
dihadiri oleh tujuh kerajaan pesisiran, termasuk Binuang yang absen pada
Muktamar Pertama.
Motivasi dari Ikrar Tammajarra kedua ini adalah
untuk menguatkan barisan kembali melawan dan menyerang Pasokkorang yang
dikhawatirkan akan kembali berjaya setelah kembali dari Sawitto. Pada
Muktamar atau perjanjian Tammajarra kedua ini juga lahir rumusan untuk
menjadikan Kerajaan Balanipa sebagai bapak dan Kerajaan Sendana sebagai
ibu dalam konsep dan tatanan adat. Kendati Balanipa sebagai Bapak dan
Sendana sebagai Ibu dalam tatanan adat, namun kerajaan-kerajaan lainnya
tetap memiliki otoritas kewilayahan masing-masing, kecuali dalam hal
pertahanan dan keamanan. Dari Ikrar Tammajarra kedua ini pulalah
terealisir keinginan untuk menyatu dalam sebuah persekutuan Pitu Ba’bana
Binanga ini, walau sebelumnya idea dasarnya telah muncul pada saat
Ikrar Tammajarra pertama.
Versi lain diseputar sejarah Muktamar
Tammajarra ini juga sempat ditulis oleh Ibrahim Abbas (1999) yang
menyebutkan bahwa, Ikrar Tammajarra pertama justru terjadi pada zaman
Mara’dia Todilalang I Mayambungi atau raja Balanipa pertama dan
bertempat di Tamajarra yang juga dihadiri oleh enam kerajaan Mandar di
pesisiran pantai, minus Kerajaan Binuang. Hasil dari Ikrar Tammajarra
pertama ini kemudian memuat materi kesepakatan untuk mengangkat Balanipa
sebagai bapak pada tatnan adat, dan Sendana sebagai Ibu. Yang
pengandaiannya adalah, Balanipa berfungsi sebagai penerang atau pelita
bagi enam kerajaan tersebut. Sedangkan Sendana sebagai payung atas enam
kerajaan tersebut.
Sedang pada Ikrar Tammajarra kedua yang disponsori
oleh Todiwesoang (Raja Balanipa ke-4), dihadiri oleh raja-raja dari
tujuh kerajaan pesisiran. Termasuk kerajaan Sipajolangi (Raja Binanga
I). Adapun ketetapan yang lahir dari Ikrar Tammajarra kedua yang juga
telah dihadiri oleh kerajaan Binuang ini adalah, mengenai
ketetapan-ketetapan masalah hukum, dimana persoalan di tingkat otoritas
kerajaan masing-masing yang tak lagi dapat diretas. Maka yang berhak
menyelesaikannya sebagai hakim tingkat pertama adalahibu yakni Sendana.
Jika selama tujuh hari tidak juga ditemukan kepastian hukum maka
Balanipa-lah sebagai hakim akhir dari persengtaan hukum atau persoalan
kemasyarakatan lainnya.
Sementara itu konfederasi tujuh kerajaan di
gunung sendiri juga membentuk sebuah persekutuan, atau yang kemudian
dikenal sebagai Pitu Ulunna Salu yang menurut sejarah Pitu Ulunna Salu
digelar pada akhir abad ke-15 M yang ditetapkan di Talipukki sebagai
Lisuan Ada’. Sarman sahudding (2004).
Sementara itu menurut Muh.
Ridwan Alimuddin (2003) deklarasi Pitu Ulunna Salu sendiri digagas dan
diprakarsai oleh Londong Dehata alias Tomapu’. Muktamar Pitu Ulunna Salu
sendiri dihadiri oleh Rantebulahan sebagai Indo Lembang, Aralle sebagai
Indo Kadanene’, Indo Lita’ Petaha Mana Pabisa Parandangan, Mambi
sebagai Lantang Kadanene’, Tabang sebagai Bubunganna Kadanene’, dan
Bambang sebagai Bubunganna Kadanene’.
Sedang menurut, Ibrahim Abbas
(1999), musyawarah pembentukan persekutuan Pitu Ulunna Salu digelar di
daerah Mambi dihadiri oleh tujuh kerajaan dan menelorkan beberapa
kesepakatan seperti, Rantebulahan sebagai ketua persekutuan yang
bergelar Indo Lembang, Aralle sebagai Wakil Ketua Persekutuan, Mambi
sebagai tempat Permusyawaratan Persekutuan, Sementara Tabang sebagai
Bumbunna Sangkadanne,’ Dan Bambang sebagai Dandirinma Sangkadann,’
Matangnga sebagai Tundu’ Masande’na, serta Tu’bi sebagai Tomatuanna
Sangkadanene.’
Yang menarik dari sejarah persekutuan kerajaan di Pitu
Ulunna Salu tersebut adalah adanya ketidak sepahaman apakah Tu’bi juga
adalah bahagian yang masuk kedalam persekutuan tersebut atau tidak.
Sebab yang jelas Sarman Sahudding (2004) menulis bahwa, persekutuan Pitu
Ulunna Salu terdiri atas, Tabulahan, Rantebulahan, Mambi, Aralle,
Matangga, Tabang dan Bambang.
Dalam tulisannya itu ia juga mengakui
bahwa memang ada semacam kontroversi sejarah. Tu’bi atau Bambang-kah
yang masuk dalam persekutuan tersebut. Versi pertama menyebutkan,
Bambang-lah yang masuk dengan alasan penyebaran agama Kristiani di
Bambang yang cukup massif. Sedang paham lainnya juga memahami, bahwa
justru Tu’bi-lah yang masuk, juga karena alasan agama Islam yang
mayoritas di Tu’bi, sedangkan Bambang muncul kemudian disebabkan karena
Bambang kemudian dikukuhkan sebagai Su’buan Ada’di Pitu Ulunna Salu.
Dan
jika disandingkan dengan konteks ketatanegaraan di kekinian,
persekutuan di Pitu Ulunna Salu dapat diterjemahkan sebagai berikut :
Tabulahan sebagai eksekutif yang bertugas menangani masalah
kesejahteraan, kesehatan, keagamaan dan pendidikan di Pitu Ulunna Salu,
Sedangkan Rantebulahan, bertugas sebagai eksekutiv yang berfungsi
menangani masalah politik, keagamaan terutama menyangkut perang fisik
dan perekonomian. Sementara Mambi, lebih fokus menangani bidang
pertanian dalam bidang eksekutiv sedang Mambi dalam bidang legislative
bertugas sebagai tempat penyelenggaraan musyawarah adat Pitu Ulunna
Salu.
Aralle bertugas sebagai juru penerangan, sebagai diplomator
atau pemerintahan adat. Baik ke dalam maupun ke luar. Lebih khusus,
menjadi pusat informasi, utamanya kepada Pitu Ba’bana Binanga mengenai
hubungan kedua wilayah besar serumpung tersebut. Sedang dalam bidang
legeslative Aralle adalah kedua sedang permusyawaratan adat. Matangnga
sendiri, berfungsi dalam bidang eksekutiv sebagai benteng pertahanan,
khususnya jika persekutuan dalam keadaan genting dan mendesak akan
adanya serangan dari luar wilayah persekutuan. Di bidang legislative
Matanganga bertanggungj awab atas keamanan dan ketertiban jalannya
sidang musyawarah adat jika digelar.
Sedang Tabang bertugas menjaga
keutuhan persatuan dan kesatuan dalam bidang eksekutiv menjaga dan
mengamankan hasil-hasil musyawarah dalam bidang legislative. Sementara
Bambang bertugas sebagai penghubung dengan semua anggota persekutuan
jika akan digelar musyarah adat dan menyimpan serta menjaga kerahasiaan
hasil musyawarah adat. Dan yang terakhir Tu’bi memiliki tugas menjaga
batas wilayah, sekaligus menjadi penghubung terkhusus kaitannya dengan
kepentingan rakyat dua wilayah persekutuan, utamanya dengan Pitu Ba’bana
Binanga. (idem).
Hal lain yang juga tak kalah menariknya dari
sejarah kerajaan di Mandar adalah, dikenalnya beberapa perjanjian,
sebagai salah satu asfek dari sekian banyak asfek sejarah yang menyokong
etnis atau suku bangsa yang bernama Mandar ini. Yang untuk itu dapat di
baca jejak-jejaknya hingga kini. Artinya adalah ketika terbangun
kesepakatan bahwa Mandar adalah sebuah negeri yang besar dan memiliki
peradaban yang agung berikiut sejarahnya. Maka andil sejarah beberapa
perjanjian dalam menoreh jejak pada tapak-tapak sejarah kerajaan Mandar
adalah sebuah keniscayaan yang mutlak dibahasakan. Dari lintas alur
logika inilah akan dicoba diurai beberapa perjanjian dan deklarasi yang
lalu kemudian menyerah di Tanah Mandar selain sejarah Muktamar
Tamamajarra Pertama dan Muktamar Tammajarra Kedua serta deklarasi Pitu
Ulunna Salu.
Jika dipilah-pila, maka beberapa perjanjian tersebut
seperti dikemukakan oleh Drs. Muis Mandra (2004) adalah; Perjanjian
Rantebulahan yang konon terjadi pada abad ke-17 M. Antara kerajaan
Rantebulahan dan mewakili Pitu Ulunna Salu dan Balanipa dan mewakili
Pitu Ba’bana Binanga. Motif dari perjanjian ini adalah untuk memperkecil
perbedaan pendapat guna persatuan dan kesatuan.
Sedang perjanjian
berikutnya adalah, Perjanjian Malunda yang juga diklaim terjadi pada
abad yang sama dengan Perjanjian Rantebulahan. Perjanjian ini
dilangsungkan antara Pitu Ulunna Salu dan Pitu Ba’bana Binanga untuk
menetralisi masalah Laikang Tallu dan Lante Samballa di Taang.
Berikutnya
adalah, perjanjian Passulurang Bassi di Lakahang yang juga diduga
terjadi pada abad ke-17 M yang bertujuan untuk membicarakan tentang
masalah orang Pasokkorang sebagai rampasan perang di Mandar dan masalah
tiga perempat dari daerah Palili’ Massedan yang menghadap ke Pitu Ulunna
Salu dan seperempatnya menghadap ke Pitu Ba’bana Binanga.
Perjanjian
lainnya adalah, Perjanjian Sungki’ yang diduga terjadi sekitar abad
ke-18 M yang materinya adalah membicarakan tentang status Palili’
Massedan. Sedang perjanjian Damadama’ adalah perjanjian yang berikutnya,
dan diduga juga terjadi pada abad yang sama dengan Perjanjian Sungki’
yang materinya juga membicarakan tentang status daerah Paili’ Massedan,
utamanya menyangkut hukum yang berlaku di daerah tersebut. Dimana
ditetapkan melalui perjanjian ini, bahwa hukum yang digunakan di Palili’
Massedan adalah hukum yang hidup di daerah tersebut.
Perjanjian
berikutnya adalah Allamunga Batu di Luyo, sebagai titik sumbu
penyeimbang peta geografis kewilayahan Mandar antara persekutuan Pitu
Ulunna Salu dan Pitu Ba’bana Binanga yang menurut sejarahnya di motori
oleh Raja Balanipa ke dua yang digelar di Luyo. Lalu dikatakan sebagai
Allamungan Batu di Luyo, sebab pada perjanjian atau deklarasi ini,
kemudian di simbolkan dalam bentuk batu yang ditanam ke dalam tanah di
Luyo. Yang kini lalu menjadi simbol sejarah persatuan antara kedua
persekutuan di Mandar.
Konon pada perjanjian tersebut juga dihadiri
London Dehata alias Tomapu’ dari Pitu Ulunna Salu sedangkan dari Pitu
Ba’bana Binanga diwakili oleh Tomepayung sendiri. Perjanjian atau Ikrar
Luyo sendiri digelar pada abad ke-18 / 19 M sekaligus menjadi tonggkat
diresmikannya nama Mandar untuk perserikatan dua persekutuan tersebut.
(ibid).
Sedang Sarman Sahudding (2004), juga menulis bahwa materi
kesepakatan atas ikrar atau perjanjian Loyu tersebut adalah pertama,
jika anasir musuh datang dari wilayah pegunungan atau pedalaman, maka
itu dibawah tanggung jawab Pitu Ulunna Salu sedang jika anasirnya musuh
datang dari wilayah pesisiran, maka yang menjadi penanggung jawabanya
adalah, Pitu Ba’bana Binanga. Lalu yang kedua adalah, ikrar persatuan
dan soliditas antara dua persekutuan tersebut. Dan yang ketiga adalah,
pernyataan senasib sepenanggungan diantara kedua persekutuan.
Perjanjian
ini pulalah kemudian yang diklaim banyak orang sebagai perjanjian
persatuan dua buah persekutuan dan menjadi tonggak sejarah keluhuran dan
kebesaran peradaban Mandar. Cukup beralasan memang, mengingat bahwa
formalnya penyebutan Nama Mandar konon dimulai sejak adanya perjanjian
ini, yang sekaligus menandai menyatunya kedua persekutuan besar antara
Pitu Ba’bana Binanga dan Pitu Ulunna Salu ke dalam satu serikat
konfederasi.
Bahkan menurut Darwis Hamzah seperti dikutif DR. Edwar
L. Poelinggomang, M.A. (2004), menyebutkan bahwa sebutan lain yang tepat
atas Perjanjian Luyo ini adalah Sipamandar, yang kurang lebih berarti,
saling menguatkan. Belum lagi keyakinan yang menyebutkan bahwa
perjanjian Luyo adalah Sipamandar yang kurang lebih berarti, saling
menguatkan. Belum lagi keyakinan yang menyebutkan bahwa perjanjian Luyo
ini adalah perjanjian yang dianologikan sebagai bola mata yang mustahil
dipisahkan antara warna hitam dan warna putih.
http://ragamsulawesibarat.blogspot.co.id
Saya heran tdk pernah ad yg mau nulis tentang kerajaan pertama dtanah mandar. Sebelum muncul kerajasn2 lain seperti balanipa padahal kerajaan balanipa kerajaan yg terakhir yg ad ditambah mandar..
BalasHapusKenapa itu lontar sejarah tanah mandar tdk pernah di munculkan.
Adakah?
Hapus